Page 169 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 169

Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan  157


              menggarap   dan  memanfaatkan   lahan  perkebunan  yang telah
              dikuasai. Masyarakat  merasa  tidak  terikat  lagi dengan  perusahaan




              perkebunan   Paruh aw  tahun 1950-an banyak

              masyarakat terhadap pemerintah guna mendapatkan status hukum
              yang jelas atas keberadaan tanah yang telah mereka garap. Bahkan
              sejak  tahun  1953 masyarakat  telah  mulai dibebani pajak  atas
              tanah-tanah garapan oleh pemerintah. Setiap pemilik tanah sudah
              mendapat  nomor  pipil sebagai legitimasi kepemilikan  tanahnya,
              yang pelaksanaan pembayarannya dilakukan setiap tahun. 65

                  Kendati terdapat  penguasa  agraria  baru, namun  masyarakat
              semakin percaya diri untuk tetap menggarap tanah-tanah perkebunan
              yang telah  mereka   duduki. Masyarakat  tidak  mengindahkan
              adanya  penguasa  perkebunan  yang mengelola  perusahaan, mulai
              dari penataan, pengelolaan  atas  tanah-tanah  perkebunan, hingga
              mengelola industrinya. Tindakan masyarakat tersebut dikarenakan
              posisi pengusaha sudah tidak begitu kuat  karena tidak hanya masalah
              keuangan tapi juga kerusakkan perkebunan akibat perang sehingga
              banyak tanah tidak terurus dan menjadi lebat oleh tanaman liar.
                  Sementara  itu  para  pengusaha  masuk  kembali  di  wilayah

              perkebunan  di Jember  menggunakan  pola  lama  yakni mengajak
              keterlibatan  masyarakat  untuk  membuka  tanah-tanah  yang lebat
              oleh tanaman liar. Pada tahun 1949, di perkebunan Ketajek pemegang
              kuasa  hak  erfpacht  melalui kepercayaannya  Tan  Tiong Bek  mengajak
              masyarakat  untuk  bersama-sama  mengurus  perkebunan  kembali.


              Masyarakat   kedua desa (P  dan   y  ada   sekitar wilayah




              perkebunan  mulai membuka  kembali tanah-tanah  perkebunan, yang
              sebagian telah menjadi hutan lebat. Sebelum proses pembukaan hutan
              kembali tersebut  dilakukan  perjanjian  kerja  sama  antara  masyarakat
              dengan  kuasa  hak  erfpacht . Adapun  perjanjian  tersebut  berisikan:
              (i) pembabatan  hutan  seluas  0,5 ha  akan  mendapat  upah  sebesar  Rp.

              65  Laporan  Forum  Solidaritas  Petani Tapal Kuda, (Tidak  diterbitkan),
                  2000.
   164   165   166   167   168   169   170   171   172   173   174