Page 256 - Seluk Beluk Masalah Agraria : Reforma Agraria dan Penelitian Agraria
P. 256

Epilog

               saya sebagai penerjemah. Dalam jalan-jalan di tengah malam
               itu, dengan sekali-sekali istirahat di “cakruk” (bangunan tempat
               ronda malam), kami berdua ngobrol macam-macam: tentang
               asal-usulnya di Amerika, tentang pengalamannya perang di
               Vietnam, tentang usahatani ayahnya, tentang pedesaan di Phi-
               lipina, dan tentu saja tentang teori-teori ekonomi yang memang
               banyak saya tanyakan.
                   Sekitar jam 9 pagi, kami kembali ke rumah Pak Lurah. Di
               situ kami lihat Bill Collier dan Soentoro sudah mandi dan du-
               duk-duduk sambil membaca. “Lho kau tidak kerja?” tanya
               Rutton. “Siapa bilang,” jawab Pak Bill penasaran. Rupanya
               yang terjadi adalah sebagai berikut.
                    Tanpa tahu bahwa saya bersama Ruttan sedang keliling
               desa (dikiranya masih tidur), mereka berdua bangun pagi-pagi
               jam 5.30, dan terus pergi ke sawah untuk menyaksikan orang
               panen, menghitung jumlah buruh panen, dan mewawancarai-

               nya. Dengan sepatu dan celana bersih mereka berdua terjun
               ke sawah sehingga penuh kotoran lumpur sawah. Belakangan
               Pak Bill mengaku, bahwa maksudnya agar ketika kami menyu-
               sul, “boss” barunya (yaitu Ruttan) dapat menyaksikan bahwa
               dia (Pak Bill) bekerjanya serius dan tak segan kena lumpur.
               Namun, ditunggu-tunggu sampai jam 8 pagi, kok kami tidak
               muncul. Lama-lama Pak Bill dan Soentoro tidak tahan karena
               kakinya mulai gatal-gatal kena lumpur itu. Mereka pulang dan
               mandi. Mereka baru tahu bahwa kami tak ada di rumah. Sambil
               bergurau Pak Bill menegur saya: “Sialan, he Wiradi. Kau ajak
               ke mana Ruttan barusan ini?!” Jawab saya: “Bukan saya yang
               mengajak!” Ruttan hanya tertawa, karena tidak mengerti baha-
               sa Indonesia.

                                                                   219
   251   252   253   254   255   256   257   258   259   260   261