Page 158 - Educational HYpnosis
P. 158
Educational Hypnosis (2018)
Free Ebook by Zainurrahman, S.S., M.Pd., CHt.
Zonahypnosis.wordpress.com
Sangat jelas bahwa kita sebenarnya selama ini melibatkan hypnosis di
dalam proses pendidikan dan pengajaran kita, namun kita seringkali tidak
menyadarinya. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mempelajari dan
menggunakannya secara sadar dan secara ilmiah. Sayangnya, sampai saat ini,
David M. Wark menyebutkan, hypnosis belum digunakan di dalam konteks
pendidikan (Wark, 2011). Meskipun demikian, di Indonesia sendiri sudah banyak
peneliti yang menguji efektivitas hypnosis di dalam pengajaran yang mereka sebut
dengan hypnoteaching dan hypnolearning.
Kini, apa yang bisa kita lakukan dengan menggunakan waking hypnosis
atau alert-hypnosis? Saya akan memberikan beberapa contoh kasus penggunaan
waking hypnosis.
Suatu saat saya melihat seorang mahasiswa saya terkesan tidak
memperhatikan apa yang saya sampaikan di kelas. Akhir perkuliahan, saya
mengundang mahasiswa tersebut ke ruangan saya dan saya kemudian berbincang
dengannya. Saya sangat memaklumi, bahwa ada hal lain yang menguras
sumberdaya pikirannya sehingga materi yang saya sampaikan terlihat sia-sia.
Ketika mahasiswa tersebut duduk di hadapan saya, saya berupaya melakukan
kalibrasi dengan sinyal-sinyal non-verbal kinesik yang muncul pada keadaan siswa
tersebut. Saya menanyakan masalah apa yang sedang dipikirkannya dan seperti
biasanya mahasiswa cenderung “berbohong” dengan mengatakan bahwa tidak
ada masalah apa-apa. Ekspresi di wajah mahasiswa tersebut cukup jelas
memperlihatkan adanya kesedihan dan kemarahan. Saya kemudian menggunakan
beberapa pola kalimat yang bagi saya akan “menyentuh” aspek emosinya. Saya
berkata, “Saya bisa mengerti apa yang sedang Anda rasakan saat ini.” Kata-kata
yang saya garis bawahi di atas adalah salah satu pola yang di dalam NLP disebut
dengan distortion-mind reading dimana saya berbicara seolah-olah saya
mengetahui apa yang dirasakannya. Khusus pada kata “apa” merupakan kata
yang menggeneralisir perasaan yang sudah tentu tidak saya ketahui secara pasti.
Namun kata ini merujuk pada apa yang secara nyata dirasakan oleh mahasiswa
tersebut; setidaknya inilah makna kata “apa” yang ditangkap oleh pikiran bawah
sadarnya. Spontan mahasiswa tersebut “tenggelam” ke dalam emosinya (sedih
dan marah) dan saya mendengar ucapannya “Tidak ada seorang pun yang dapat
saya percayai lagi. Semua teman saya adalah pengkhianat.” Saya kemudian
memberikan beberapa pertanyaan kritis terhadap mahasiswa tersebut tanpa
menanyakan masalah yang menimpa dirinya. Saya bertanya “Menurut Anda,
apakah marah dan sedih akan membuat Anda merasa lebih baik?” Mahasiswa
tersebut menjawab “tidak”. Saya melanjutkan pertanyaan “apakah marah dan
sedih membuat Anda lebih sulit belajar?” Mahasiswa tersebut menjawab “iya”
kemudian saya memberikan sugesti “Maka semakin Anda sedih dan marah karena
masalah tersebut, semakin sulit Anda belajar. Sehingga Anda memutuskan untuk
151