Page 100 - Tenggelamnya Kapal
P. 100

18. SURAT-SURAT HAYATI KEPADA KHADIJAH



               Surat yang pertama.



               Sahabatku Khadijah!
               Setelah selesai perkawinan kita, rupanya kita mesti berpisah sejauh ini; kau ke Medan
               menurutkan suammu, karena dia saudagar dan saya ke Padang nwnurutkan suamiku, karena
               dia makan gaji.

               Meski pun bagaimana kesenangan yang diberikan Aziz kepadaku, namun saya masih tetap
               teringat kepada kau. Kapankah kita akan bertemu kembali, mengulang jejak masa muda,
               semasa masih bebas mengiraikan sayap.

               Memang amat ganjil hidup yang mesti kita tempuh. Mula-mula saya cintai orang lain, anak
               muda lain, menurutkan hati yang tidak bertimbangan, tetapi takdir Tuhan menentukan saya
               mesti rnenjadi isted Aziz. Benarlah rupanya pepatah pujangga kita tuan Haji Agus Salim, bahwa
               bagi bangsa kita, cinta datangnya ialah sesudah kawin.
               Khadijah! Kami amat beruntung suami isteri! Justru rupanya perkataan-perkataan orang
               membusuk-busukkan suamiku, mengirakan dia suka membuang-buang wang dimeja perjudian.
               Kalau itu ada semasa dia masih belum beristed, maka sekarang tak aria lagi. Adalah suamiku
               suatu contoh dari suami yang setia.
               Kebetulan sekali, baru-baru ini kami dikirim orang dari Surabaya, satu "katalogus" dari hikayat-
               hikayat yang dikeluarkan oleh satu pedagang buku Hikayat yang mula-mula kami pesan
               bernama "Terusir." Kulitnya dihiasi dengan klise yang indah tetapi menyedihkan hati, terlukis
               seorang anak nuda menjinjirg bungkusan kecil disuruh pergi oleh seorang tua [160] yang gagak
               memakai saluk. Di sana tertulis: "Pergilah! Negeri kami beradat." Isinya, wahai Khadijah, serupa
               dengan nasib anak muda yang menjadi buah tutur kita selama ini, Zainuddin. Saya baca cerita
               itu sampai habis, sehingga dengan tidak saya rasai, buku itu telah basah oleh air mata.
               Kebetulan penulis yang menanggung jawab hikayat-hikayat yang dikeluarkan itu ialah nama
               samaran atau potongan letter "Z."
               Mengingat letter itu, dari mengingat isi cerita, saya teringat kembali kepado anak muda yang
               telah terpedaya lantaran saya: Zainuddin. Kalau bukan karangannya, mengapa hampir serupa
               apa yang dituliskannya dengan yang kejadian itu, tidak berapa bedanya. Tetapi kalau dia,
               kadang-kadang saya tak percaya, bahwa anak muda yang pemenung itu akan sanggup menulis
               buku seindah itu. Beberapa bulan yang lalu, di surat-surat kabar yang terbit di Jakarta bertemu
               pula hikayat-hikayat pendek yang ditulis oleh letter "Z" juga. Isinya amat indah-indah, tetapi
               tidaklah seindah hikayat yang terbit di Surabaya ini. Agaknya kau sendiri ada juga membaca
               buku baru itu.
               Kalau memang ini karangannya, alangkah salahnya persangkaan kita kepada anak muda yang
               kita sangka kurang akal itu. Rupanya dia mempunyai pikiran tinggi, telah menjadi pengarang
               yang besar. Terus terang saya katakan, hikayat-hikayat itu amat menarik hatiku; meskipun
               suamiku tidak begitu suka kepada cerita-cerita sedih, hanyalah hikayat-hikayat detektip saja.
   95   96   97   98   99   100   101   102   103   104   105