Page 95 - Tenggelamnya Kapal
P. 95
menganiaya. Dicarikannya pekasih atau kebenci kian kemari, dituntutnya ilmu sihir kepada
dukun-dukun yang pandai, sehingga perempuan itu cerai dengan suaminya, atau kena sijundai
dan parendangan. Cinta yang demikian namanya kekejaman, dia menganiaya bukan mengasihi,
mementingkan kesenangan seorang. Dan itu bukan budi dan cinta, tetapi nafsu yang serendah-
rendahnya.
Bukan begitu jalan yang ditempuh budiman. Jika hatinya dikecewakan, dia selalu mencari usaha
menunjukkan di hadapan perempuan itu, bahwa dia tidak mati lantaran dibunuhnya. Dia masih
hidup, dan masih sanggup tegak. Dia akan tuniukkan di hadapannya dan di hadapan suaminya
bahwa jika maksudnya terhalang di sini, pada pasal lain dia tidak terhalang. Guru sendiri yang
mengajarkan kepada saya, dan sekarang saya kembalikan kepada guru, [152] bahwa banyak
orang benar-besar yang kalah dalam percintaan, lantaran kekalahan itu dia ambil jalan lain, dia
maju dalam politik, dalam mengarang syair, dalam mengarang buku, dalam perjuangan hidup,
sehingga dia naik ke atas puncak yang tinggi, yang perempuan itu wajib melihatnya dengan
menengadah dari bawah. Dengan itu; biar hatinya sendiri hancur dalam kekecewaan yang
pertama, maka orang banyaklah yang mengambil hasilnya."
Dalam sekali nasehat-nasehat yang diberikan oleh Muluk, tercengang Zainuddin memikirkan,
tidak disangkanya bahwa temannya itu, yang pada lahir dicap seorang parewa, tetapi pada
batinnya seorang guru yang telah banyak sekali meminum air hidup. Sehingga di dalam Muluk
berkata-kata itu teringatlah di hati Zainuddin bahwa selama ini belum ada dia beroleh seorang
sahabat tempat menumpahkan perasaan hati, yang serupa dengan Muluk itu.
"Saya lihat guru pandai mengarang," Muluk meneruskan tuturnya, "banyak buku-buku terletak
di atas meja guru banyak karangan-karangan dan hikayat-hikayat. Mengapa itu tidak guru
teruskan?"
"Kalau pikiran tertutup bagaimana hendak mengarang?" keluh Zainuddin.
"Kata orang ketika ditimpa hal-hal yang seperti inilah terbuka pikiran membuat karangan,"
jawab Muluk.
"Benar segala perkataanmu, bang Muluk, tidak ada yang salah. Segala yang tersebut itu telah
saya usahakan, telah saya ketahui. Tetapi itulah; saya akui pula semangat saya yang lemah
yang tak dapat mencapai kemenangan di dalam perjuangan mencari mana yang lebih benar.
Tetapi saya ingat pula bahwa segala yang kejadian itu mesti kejadian, kesusahan mesti datang
menimpa, dilukai mesti berdarah, dipukul mesti sakit. Cuma sesudah luka tentu ada pula masa
sembuhnya, sesudah bengkak ada mass surutnya. Mulai waktu ini saya akan berusaha
memperbaiki jalan pikiran saya kembali. Saya tidak akan mengingat dia lagi, saya akan
melupakan dia! [153]
Ada pun kesakitan yang mengenai hati, moga-moga dapatlah disembuhkan Tuhan dengan
berangsur. Tetapi .........."
"Tetapi apa lagi?" tanya Muluk.
"Saya sudah pikirkan bahwa yang lebih maslahat bagi diri saya dan bagi perjuangan yang akan
ditempuh di zaman depan, saya terpaksa pindah dari kota Padang Panjang. Saya hendak ke
tanah Jawa. Di tanah Jawa nasehat bang Muluk itu lebih mudah dijalankan dari di sini. Lagi pula
kalau Padang Panjang kelihatan juga, pikiran yang lama-lama timbul-timbul juga!"
"Sudah tetapkah keputusan demikian?" "Tetap!"