Page 92 - Tenggelamnya Kapal
P. 92

16. MENEMPUH HIDUP



               Dua bulan lamanya Zainuddin sakit. Sakit yang boleh dikatakan penutup dari pada zaman
               angan-angan remaja dan pintu zaman yang baru untuk penghidupannya. Rupanya Allah masih
               mengizinkan dia hidup, padahal sudah berapa kali di dalam sakitnya dia meminta mati. Tetapi
               rupanya dia masih berguna, lapangan buat berjuang dalam alam dunia ini masih luas. Sebab itu
               maka sembuhlah dia dari sedikit ke sedikit, pikirannya pun timbul dari selangkah keselangkah,
               sehingga akhirnya kekuatannya telah surut semula. Hanya pada tepi matanya, pada raut
               keningnya, masih tetap terbayang segala lakon hidup yang dijalaninya.

               Persahabatan manusia yang didapat sesudah menempuh sengsara adalah persahabatan yang
               lebih kekal dari pada yang didapat diwaktu gembira. Demikian pulalah diantara Zainuddin
               dengan Muluk. Sejak dia sakit sampai sembuhnya, tidaklah pernah terpisah lagi diantara kedua
               orang itu. Zainuddin masih muda dan banyak cita-cita, Muluk lebih tua dan banyak pengalaman,
               walau pun ilmunya tak ada selain dari pergaulan.

               Pada suatu hari, tengah hari, sedang cacau ragi kain, sedang lengang 'rang di kampung hanya
               sekali-sekali kedengaran peluit kereta api yang sedang diperbaiki di bengkel dekat stasiun, dan
               dari jauh kedengaran aliran air yang merawankan hati dalam belukar Anai. Kebetulan Muluk
               kembali dari pasar, tidak mendapati Zainuddin di rumah. Dicarinya ke dalam kamar tak ada,
               dicarinya dan ditanyakannya kepada ibunya sendiri, ibunya pun tak tahu. Terkenanglah dia
               bahwa pada zaman yang akhir ini, Zainuddin suka sekali bersunyi-sunyi diri ke belukar Anai, ke
               tepi sungai yang [147] mengalir dengan bunyinya yang dahsyat itu, seakan-akan berserunai
               bernafiri layaknya. Dia pun dengan tergesa pergi ke sana. Persangkaannya tepat sekali,
               didapatinya Zainuddin sedang duduk di atas sebuah batu besar melihat air mengalir, yang selalu
               seakan-akan bertutur. Nun jauh dari sana, adalah Lubuk Mata Kucing, tempat orang mandi-
               mandi bergurau.

               Setelah Muluk datang, Zainuddin telah tahu, tetapi tak sepatah jua ditegurnya. Di sanalah Muluk
               mulai berkata.
               "Apakah yang guru menungkan juga"?
               "Begini baru usiaku, sudah begini besarnya kedukaan yang menimpa diriku, menung apakah
               yang tidak akan terjadi? Kalau bang Muluk merasai tentu abang tak akan sampai bertanya!"
               "Hentikanlah segala permenungan ini, guru muda. Sebab segala yang kejadian itu telah berlalu
               masanya; apa yang telah tertentu sejak dalam rahim bunda tak dapatlah makhluk mengelak
               kan," ujar Muluk dengan rupa yang sungguh-sungguh. "Secara persahabatan, biarlah dengan
               segenap kejujuran saya lepaskan perasaan yang terguris kepada guru. Begini banyak ilmu yang
               telah guru tuntut, begitu tinggi budi pekerti dan kesopanan guru; akal panjang pikiran luas,
               pemandangan jangan disebut.
               Tiba-tiba di hadapan keadaan yang begini, guru bersemangat lemah. Lebih lemah dari pada
               kami parewa yang tak kenal membaca Bismillah. Tidaklah baik hidup yang murni dan mulia
               dikurung diterungku karena hanya semata-mata memikirkan seorang perempuan, seakan-akan
               hanya itulah perempuan di dunia ini. Perempuan yang guru junjung itu, sebelum sampai
               perkawinan berhasil dengan guru telah nyata emas dan loyangnya, batu dan intannya. Dia telah
               berkhianat, memungkiri janjinya, sehingga lantaran memikirkan itii, guru telah jatuh sehina
   87   88   89   90   91   92   93   94   95   96   97