Page 90 - Tenggelamnya Kapal
P. 90
Sudah segala macam obat dilekatkan, kumpai dan cikarau, sitawar dan sidingin, giring-giring
hantu, api-api hantu, sirili bertemu urat, dasun tunggal, urat rotan melantas banir, semuanya
tidak ada yang mujarab. Sisakit lianya bertambah sakit juga.
Melihat itu, cemaslall kedua induk semangnya itu, Muluk dengan ibunya. Mereka takut, orang
dagang yang malang itu akan meninggal di rumah mereka lantaran kesia-siaan mereka. Maka
se tujulah kedua ibu dan anak itu memanggilkan dokter. Karena kebiasaan waktu itu, jika
penyakit masih belurn dipandang berbahaya, mereka belum ada niat hendak pergi ke dokter,
segala perkataanperkataan yang akan menghinakan dokter, keluarlah dari mulut: [142] "Apa
guna memanggil dokter, penyakit begini tak bisa dokter mengobat. Tetapi kalau mengobat luka,
memang dokter pintar." Nanti kalau rasa telah berat penyakit itu, baru teringat bahwa ada
dokter. Padahal penyakit yang berat itu sama-lama payah mengobatinya, baik oleh dokter
apalagi oleh dukun.
Dokter dipanggilkan, si sakit diperiksa, ditanyakan pula kepada kedua ibu clan anak itu berita
dan keadaan si sakit. Setelah dokter masuk ke kamar, berkicutlah pintu, kedengaran pula suara
si sakit: "Kaukah itu Hayati? ....... Marilah duduk, marilah kemari, saya sudah sembuh dari
sakitku, aku tak sakit lagi, mengapa lama benar baru kau datang?"
Waktu itu juga dokter maklum nama penyakit itu! Oleh Muluk dinyatakan pula ceritera itu
semuanya.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala dokter berkata: "Yang lebih baik, kita minta atas nama
kemanusiaan supaya perempuan itu datang kemari, walaupun sekali saja! Agaknya dengan
pertemuan itu dapatlah sakitnya berkurang!"
"Bagaimana kalau orang tidak mau?" "Nanti saya mengikhtiarkan," kata dokter!
Dokter itu meskipun telah tua, mengerti juga aliran darah muda dan faham akan jiwa manusia.
Dengan segala tipu muslihat diikhtiarkan supaya dapat Hayati melihat Zainuddin, walaupun
bersama-sama suaminya.
Lantaran pandainya menarik hati ninik-mamak Hayati, permintaan itu dikabulkan orang,
meskipun Aziz sendiri mula-mulanya keberatan. Dalam pemandangan orang dusun hal itu pun
menyalahi kebiasaan. Tetapi kekerasan permintaan dokter telah menghilangkan segala
kemusykilan.
Pagi-pagi pukul 9 berhentilah bendi Hayati di muka rumah Zainuddin di Silaing, dia diiringkan
oleh suaminya Aziz yang kelihatan nyata di mukanya bahwa dia amat keberatan. Dokter pun
masuk pula. Di dalam telah menunggu Muluk dengan ibunya. Dengan langkali yang perlahan
sekali mereka masuk ke dalam kamar mendapati si sakit. Dia tengah tidur dengan enaknya,
[143] badannya hanya tinggal kulit pembalut tulang saja. Dokter, Muluk, dan ibunya tegak di
tepi pembaringan. Hayati duduk ke atas korsi yang telah disediakan di muka tempat tidur dan
suaminya berdiri di belakang korsi itu.
"Zainuddin, bangunlah, kembangkanlah matamu," kata dokter "ini Hayati telah datang
menziarahimu!"
Dia masih diam saja!
Dengan separo berbisik dokter berkata kepada Hayati: "Lebih baik engkau sendiri
memanggilnya, moga-moga dia terbangun."
Mula-mula Hayati menoleh ke belakang, kepada suaminya. Muka Aziz kelihatan kerut saja.