Page 86 - Tenggelamnya Kapal
P. 86

kepadanya kabar bahwa anaknya yang tua mati di rumah sakit, dan anak yang kedua mati pula
               di dalam mencarikan kepalanya yang tak bertutup dan perutnya yang tak berisi. Sehingga
               kepada tiap-tiap orang yang pulang merantau ditanyakannya juga, adakah bertemu anaknya,
               dan bila dikatakan orang bahwa anak itu sudah mati, dia termenung, dia tak menangis lagi,
               sebab sudah kering air mata yang akan ditangiskannya.
               Pernahkah kau mendengar nasib seorang tua yang menjadi tukang rumput, mempunyai isteri
               yang sedang sakit dan anak yang sedang sarat menyusu. Beras yang akan ditanak tak ada,
               dicobanya meminjam kepada orang setelah rumah, orang tak man meminjami lagi, sebab utang
               beras 3 dan 4 hari yang lalu belum juga dibayarnya. Lantaran terlalu susah, pergilah dia
               mencuri beras orang itu dan dibawanya pulang. Dimasaknya beras itu ke dapur, sedang isteri
               dalam menarik nafas yang penghabisan. Tiba-tiba polisi pun datanglah menangkapnya, dia akan
               dibawa ke kantor mahkamah; nasi hangus, anaknya meratap dan isterinya mati setelah dia
               sampai ke pintu. Sehingga lantaran hebatnya cobaan itu, pikirannya bertukar, dia gila, sehingga
               tak jadi dibawa ke kantor mahkamah, melainkan diantarkan terus kerumah sakit gila.
               Kalau pernah kau dengar segala ceritera itu atau pernah kau lihat; kalau pernah kau dengar
               nyanyian orang kurungan menunggu ponis buangan, atau rintihan dan pekik orang sakit di
               dalam rumah sakit, atau tertawa yang tinggi dan rambut yang telah panjang dan pakaian yang
               cumpang-camping dari orang gila, sehingga lantaran itu kau jatuh betas kasihan, kau tangisi
               nasib mereka yang malang dan untung mereka yang buruk, maka ketahuilah Hayati, bahwa
               nasibku lebih lagi malangnya dari itu. Sayalah yang lebih pantas menerima kasihan kau,
               menerima ratap kau dan tangis kau..............

               Tak ada lagi yang kutuliskan kepadamu, pelita hatiku dari sedikit ke sedikit berangsur padam.
               Agaknya inilah surat yang penghabisan kepadamu.

               Selamat tinggal Hayati! Kalau umurku masih panjang, entah tidak akan bertemu lagi, dan kalau
               umurku singkat maka inilah ucapanku yang penghabisan..............



                                                                                                   Zainuddin



               Balasan Hayati:


               Tuan yang terhormat!

               Tak dapat saya sembunyikan kepada tuan, malah saya akui terus terang [136] bahwasanya
               seketika membaca surat-surat tuan itu, saya menangis tersedu-sedu, karena tidak tahan hati
               saya. Tetapi setelah reda gelora dan ombak hati yang dibangkitkan oleh surat tuan itu,
               timbullah kembali keinsafan saya, bahwa tangis itu hanyalah tangis orang-orang yang putus
               asa, tangis orarg yang maksudnya terhalang dan kehendaknya tidak tercapai. Tangis dan
               kesedihan itu selamanya mesti reda juga, ibarat hujan; selebat-lebat hujan, akhirnya akan
               teduh jua.
               Kita akan sama-sama menangis buat sementara wuktu, laksana tangis anak-anak yang baru
               keluar dari perut ibunya. Nanti bilamana dia telah sampai ke dunia, dia akan insaf bahwa dia
               pindah dari alam yang sempit ke dalam alam yang lebih lebai: Kelak tuan akan merasai sendiri
               bahwa hidup yang begini telah dipilihkan Allah buat kebahagiaan tuan. Allah telah sediakan
               hidup yang lebih beruntung dan lebih murni untuk kemaslahatan tuan di belakang hari.
   81   82   83   84   85   86   87   88   89   90   91