Page 89 - Tenggelamnya Kapal
P. 89

empat perkara: "Rumah Gedang ketirisan, adat pusaka tak berdiri, mayat terbujur tengah
               rumah, gadis gedang belum berlaki."
               Kalau bertemu sebab yang empat itu, maka "tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal
               diasah."
               Setelah harinya datang, ributlah orang dalam rumah mengerjakan dan menyiapkan. Hayati
               rintang terse nyum-senyum saja.
               Kalau sekali-kali terinbat olehnya Zainuddin, sengaja ingatan itu dipudarkannya dari hatinya.
               Dengan teman-temannya dia berbicara tentang nasibnya di belakang hari, keberuntungan yang
               sedang terbayang di angan-angan.
               Setelah hari malam kira-kira pukul 12, datanglah penganten yang laki-laki dari Padang Panjang,
               diiringkan oleh teman sahabatnya, cukup dengan adat kebesaran. Sebelum makan dan minum,
               ijab dan kabul pun dilakukan di muka Kadi. Di dalam masa hanya satu atau dua menit,
               runtuhlah gunung cita-cita yang telah sekian lama didirikan oleh Hayati dan Zainuddin
               dahulunya. Kira-kira pukul dua tetamu yang banyak itu pulanglah ke rumah masingmasing,
               yang dari Padang Panjang telah kembah ke Padang Panjang Tidak juga dapat dilupakan bahwa
               diantara pengantar itu terdapat Muluk, sahabat karib Zainuddin.

               Setelah tetamu-tetamu itu pulang, atas permintaan pihak yang perempuan, maka kedua
               penganten muda itu dipersanding kan oranglah. Karena demikian adat yang terpakai. Setelah
               bersanding beberapa lamanya, keduanya dipersilakan masuk peraduan.
               Jika pada malam itu hari gembira yang paling besar dalam penghidupan Aziz dan Hayati, adalah
               di Silaing Padang Panjang Zainuddin sedang tidur sambil merintih, menarik nafas panjang dan
               mengeluh.
               Sampai sesiang-siang hari, matanya haram tak tidur, pikirannya hanya melayang ke Batipuh.
               Banyak yang terbayang-bayang dalam pikirannya.
               Setelah hari hampir siang mata Zainuddin belum juga tertidur, datanglah Muluk.
               "Bang Mulukkah itu?" tanya Zainuddin dari kamarnya. "Ya, bukalah pintu, guru!" jawab Muluk.

               Pintu dibukakannya, sebelum Muluk sempat duduk ke korsi, Zainuddin terus bertanya: "Apa
               kabar?"

               "Telah langsung perkawinan orang itu!"
               Mendengar perkataan itu lemah sendi tulang Zainuddin, lampu dinding yang terpegang di
               tangannya hampir terlepas..
               Dia masuk kembali ke dalam kamarnya, duduk menghadapi meja kecilnya sambil melepaskan
               air mata yang telah tertahan, dua patah perkataan yang dapat melepaskan segala perasaan
               hati, keluarlah dari mulutnya: ."...... Ah, nasib!"
               Sepagi itu Zainuddin tak dapat keluar lagi dari kamarnya, dia demam. Kian lama kian paksa.
               Yang duduk di kiri-kanannya hanyalah Muluk dan ibunya. Makan dia tak mau, air seteguk pun
               sukar melakukan, sebab dia tak ingat akan dirinya.

               Dukun-dukun telah dipanggilkan. Macam-macam pendapat mereka: kena hantu, kena pekasih,
               kena tuju paramayo, kena tuju senang meranda dan lain-lain penyakit. Apalagi setelah sakitnya
               lebih sepuluh hari, kerap kali dia mengingau (bertutur sendiri) dalam tidurnya. Menyebut
               ayahnya, bundanya, mak Base, Batipuh, kawin, Aziz. Dan yang paling banyak menjadi buah
               tutumya adalah Hayati!
   84   85   86   87   88   89   90   91   92   93   94