Page 91 - Tenggelamnya Kapal
P. 91

"Jika di waktu badannya sehat tuan-tuan benci kepadanya, kasihanilah di waktu dia sakit," kata
               dokter dengan muka agak marah.
               "Zainuddin!" kata Hayati.

               Mendengar suara yang merdu itu, yang dalam telinganya laksana suara Nafiri dari dewa-dewa,
               Zainuddin pun mengembangkan matanya yang cekung. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan
               mencari dari mana datang suara itu. Lalu dia bertanya: "Siapa yang memanggil namaku?"
               "Bangunlah Zainuddin, ini saya datang," kata Hayati. "Hayatikah itu? Suaranya! Saya kenal
               benar suaranya," katanya; latu dicobanya hendak bangun, tetapi badannya masih lemah. Lalu
               ditolong mendudukkan oleh Muluk dan ibunya. Punggungnya dikalang dengan bantal.
               Terbit suatu cahaya yang hidup dan terang dari kedua belah matanya yang telah kuyu itu.
               "Mana Hayati?" Dicarinya Hayati dengan tangannya.
               "Oh, ya, Hayati! Kau datang tepat pada waktunya Telah saya sediakan rumah buat tempat
               tinggal kita. Sudah saya cukupkan alat-alat yang perlu dalam rumah itu. Nantilah saya ambil
               pakaian hitam saya, pakaian penganten, ini tuan Kadi [144] (sambil mengisyaratkan matanya
               kepada dokter), sudah lama menunggu kedatanganmu untuk melangsungkan ijab kabul.
               Sehabis nikah kita akan berangkat ke Mengkasar, kita akan melihat Butta Jum Pandang, akan
               ziarah ke kuburan ayah bundaku! Kita letakkan di sana bunga berkarang!
               Cantiknya kau hari ini! Baju berkurung begini memang sangat saya setujui. Bukankah dahulu
               seketika kita mula-mula bertemu, kau memakai baju berkurung juga! Ini selendang, selendang
               sutera putih, memang ini pakaian penganten model sekarang."

               Muka Hayati selama Zainuddin berbicara itu amat pucat, apalagi muka Aziz. Dokter melihat si
               sakit dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ibu Muluk menitikkan airmata.

               "Kemarikan tangan kau Hayati, mari saya bimbing. Kita akan pergi bersalam dengan mamakmu,
               tanganmu akan kugandeng, dari hayatku sampai matiku.

               Ai, mengapa kau mundur maju? Masih malukah kau, padahal hari ini hari pernikahan kita?"
               Hayati hendak mengulurkan tangannya, tetapi lebih dahulu dilihatnya pula muka Aziz. Aziz tetap
               melihat dengan rasa tak tentu.
               Dengan perasaan mundur maju, Hayati mengulurkan tangan, karena hendak dipegang oleh si
               sakit. Tangan itu dibawanya ke mulutnya hendak diciumnya, tiba-tiba badannya gemetar,
               tangan itu dilepaskannya kembali: "0 ....kau berinai jari, ya, ya, .... saya lupa, kau sudah kawin,
               kau sudah kepunyaan orang lain, sudah hilang dari tangan saya." Sekaranglah baru dia insaf
               sedikit, dia kembali teranyak di kasurnya. "Sekarang saya insaf, haram saya menyintuh
               tangannya, dia bukan tunanganku, bukan isteriku!"

               Diambilnya ujung selimutnya, ditutupnya mukanya. Kemudian dia berkata: "Keluarlah
               semuanya, pergilah semuanya, tinggalkan saya seorang diri di sini. Saya tidak ada perhubungan
               dengan [145] orang-orang itu, merekapun, telah putus pula dengan saya ....... pergilah,
               keluarlah, segera!"
               Terbangunlah perasaan kasihan dari hati sanubari Hayati melihat nasib anak muda itu, lalu
               dicobanya hendak membarut kepala Zainuddin dengan tangannya yang halus. Tiba-tiba
               sebelum terbarut, tangannya telah direnggutkan oleh suaminya, dan dibimbingnya keluar.
   86   87   88   89   90   91   92   93   94   95   96