Page 101 - Tenggelamnya Kapal
P. 101
Hayati.
Surat yang kedua.
Sahabatku Khadijah!
Berdebar-debar: masih berdebar jantungku ketika surat ini kutulis. Suatu keadaan dan
penghidupan yang baru akan kami tempuh. Perlu sekali rasanya kau tahu, sahabatku.
Ketika suamiku pulang dari pekerjaannya pukul 1 tadi, dia telah merdekatiku, mukanya
kelihatan girang, lebih daripada kegirangannya yang biasa. Diciumnya keningku, sambil
tersenyum dia berkata: Ti, kita akan pindah, besluitku telah keluar.
Pindah ke mana kanda? tanyaku
Cobalah terka, kemana? katanya sambil tersenyum.
Entahlah, jawabku.
Kita akan pindah ke Jawa, katanya!
Ke Jawa? tanyaku dadaku berdebar amat kerasnya!
Ya, ke Jawa, kita akan berlayar mengarung laut Ketahun, kita akan melihat kota Jakarta yang
ramai. Kita akan pergi ke negeri yang lebih ramai. Tempat kita telah ditentukan di Surabaya
Tak enak makan suamiku kelihatan lantaran girangnya, dia tersenyum-senyum saja. Baru
sebentar ini dia pergi menguruskan perlelangan barang-barang kami. Dan heran sekali
Khadijah! Debar jantungku kian keras, menyalahi kebiasaan orang yang akan didatangi suatu
kegirangan.
Sehendaknya tentu begirang amat saya menerima kabar kepindahan itu, sebab inilah saya lihat
cita-cita tiap-tiap isteri yang suaminya makan gaji. Sedangkan kau sendiri ketika akan ke
Medan, malam tasakan kau cabik supaya lekas siang. Payah saya menetapkan dan meneguhkan
hati, debarnya masih tetap saja, seakan-akan ada rasanya bahaya yang akan kutempuh di
tanah Jawa itu.
Ah, itu hanya was-was, biarlah saya coba memenanginya. Apa lagi saya cukup percaya kepada
suamiku.
Kalau sekiranya engkau masih ada di rumah, Khadijah, tentu engkau akan turut mengantarkan
daku ke Teluk Bayur, mengipas-ngipaskan sapu tanganmu melepas kami berlayar, yang harinyu
sudah terlalu dekat sekali ....
Sudah putus, kami akan pindah, harinya sudah amat dekat. Agaknya setelah sampai di tempat
kediaman yang baru, barulah dapat saya mengirim surat pula kepadamu.
Bilakah kita akan bertemu lagi Khadijah?
Hayati
[162]