Page 59 - Tenggelamnya Kapal
P. 59
Dalam pergaulan beberapa hari di Padang Panjang, dalam melihat pacu kuda, pasar keramaian,
berjalan-jalan makan angin ke tempat-tempat yang indah dan pergaulan di atas rumah yang
bebas, tentu saja hati Aziz amat tertarik melihat kecantikan Hayati. Khadijah pun selalu
memperhatikan bagaimana tajam mata [92] saudaranya melihat gadis pingitan itu. Bilamana
bersama-sama makan, kerap kali Hayati tersipu-sipu karena tidak tahan dilihat dengan sudut
inata yang setajam itu.
Bilamana Khadijah ke belakang atau yang lain tak ada, Aziz tiba, didapatinya Hayati duduk,
pandai pula dia mengeluarkan perkataan-perkataan yang lemak manis yang dapat menerbitkan
kegembiraan perempuan. Maklumlah, sudah biasa.
Bertutur yang lemak manis dia pandai sekali, mula-mula malu dan enggan, bahkan takut Hayati
berdekat dengan dia, maklumlah gadis kampung. Tetapi "memikat" adalah kepandaian Aziz
yang tersendiri. Sehingga keseganan dan keberatan itu lama-lama hilang. Dia suka kepada Aziz
sebab dia saudara Khadijah; dan senantiasa bila melihat orang lain itu, perasaan belas kasihan
kepada Zainuddin bertambah-tambah juga. Belas kasihan!
Aziz amat pandai berpura-pura. Menurut pendapatnya, segala perempuan itu sama saja, sama-
sama permainan laki-laki, yang mana pun boleh dipermain-mainkan.
Timbangannya terhadap Hayati berbeda dengan timbangan Khadijah. Bagi Khadijah..Hayati
pantas menjadi isteri Aziz, Hayati itu cantik betul, bagaimanakah akal supaya dapat jatuh
ketangannya.
Sehari sesudah Khadijah berbicara panjang mencela dan mengejek Zainuddin itu, Hayati dibawa
oleh Khadijah ke dalam kamarnya. Diperhatikannya albumnya yang penuh dengan gambar
gambar ketika dia pergi pic-nic ke bukit-bukit, ke Lubuk Mata Kucing, ke kaki Singgalang, ke
belukar Anai, ke Ngarai di Bukittinggi, ketika tunangannya di rumah tempo hari. Sudah dua
bulan tunangannya itu ada. di Jakarta, menambah ilmunya dalam perkara dagang, dan
bilamana dia pulang akan ditentukan hari perkawinan mereka. Alangkah baiknya - kata Khadijah
- kalau hari perkawinan mereka dapat disamakan!
Khadijah mempetlihatkan sebentuk cincin berlian yang indah [93] memancarkan cahaya yang
gilang gemilang. Katanya: "Inilah tanda mata dari tunanganku. Selama ini belum saya suka
membukakan kepada engkau bahwa saya telah bertunangan, sebab saya sangka engkau belum
ada niatan hendak kawin. Tetapi setelah saya ketahui bahwa engkau telah mencintai seorang
yang bukan jodohmu, saya katakanlah sekarang, bahwa hatiku tak seoang kalau tak saya
katakan kepadamu hal yang sebenarnya.
Saya cinta sekali kepada engkau, sahabatku! Alangkah beruntungnya kita, jika suami saya dan
suamimu dapat duduk sama rendah tegak sama tinggi kelak, sama-sama dapat mengaji asal-
usul, ke atas boleh ditengadahkan, ke bahwh boleh ditekurkan.
Engkau puji-puji kebaikan Zainuddin, saya memuji pula kebaikannya. Tetapi orang yang
demikian, di zaman sebagai sekarang ini tak dapat dipakai. Kehidupan zanran sekarang
berkehendak kepada wang dan harta cukup. Jika berniaga, perniagaannya maju, jika makan
gaji, gajinya cukup. Cinta walau pun bagaimana sucinya, semua bergantung kepada wang!"
"Tidak, Khadijah!" jawab Hayati, "pendapatmu tak betul, cinta tak bergantung kepada wang.
Kalau dua orang yang bercinta dapat bertemu, kesenangan dan ketenteraman pikirannya, itulah
wang, itulah dia kekayaan, lebih dari gelang mas, dukuh-berlian, pakaian cukup. Itulah
kesenangan yang tak lekang di panas, tak lapuk di hujan."