Page 58 - Tenggelamnya Kapal
P. 58
11. BIMBANG
AZIZ bekerja di Padang, jauh dari mata orang tuanya, bergaul dengan teman sejawat yang
tidak berketentuan perangai, sehingga dia sendiri pun telah terturut-turut pula.
Bilamana hari telah malam, dia. pergi ke tempat pergurauan, melepaskan nafsu mudanya. Yang
lebih disukainya ialah menghabiskan wang dengan orang-orang yang tak berketentuan. Atau
mempermain-mainkan anak bini orang. Kalau kelihatan seorang gadis yang cantik rupanya, dia
telah sebagai cacing kepanasan, sebentar-sebentar dia serupa orang alim sangat, tetapi dengan
perangai demikian dia tidak tahan lama, beberapa menit saja dapat berobah menjadi seorang
yang duduk gelisah. Belum pernah dia beristeri, meskipun, telah berkali-kali disuruh orang
tuanya, karena menurut perkataannya kepada kawan-kawannya beristeri itu mengikat langkah,
menyebabkan hilang kebebasan. Apalagi di zaman ini, zaman kemajuan, semuanya serba susah.
Akan dipilih isteri orang kampung, terlalu bodoh, tidak tahu bagaimana kemauan hidup di
zaman sekarang. Isteri itu selain dari pandai mengatur rumah, pandai melekatkan pakaian yang
menarik hati, harus pandai pula bergaul. Tidak kaku, jika bertemu dengan laki-laki lain. Sedang
pada perempuan kampung semuanya itu tidak lengkap. Akan beristeri perempuan kota,
tingkahnya banyak, mintanya bukan sedikit. Dia mau menonton, mau ini, mau itu,
kadangkadang hendak mengatur langkah lakinya menurut sukanya. Apalagi gadis-gadis
sekarang - menurut persangkaan Aziz - tidak mempunyai cinta yang jujur, sebab pergaulannya
terlalu bebas. Dia sudah berkali-kah berjanji dengan gadis-gadis akan setia, sehidup semati,
sesakit sesenang, tetapi sebahagian besar yang berjanji itu, bersuami juga, dan hidup senang
dengan suaminya. [91]
Janjinya ketika masih perawan seberat bumi dan langit. Dia sendiri pun demikian pula, berjanji
4 kali sehari, dengan anak gadis yang bermacam-macam pula perangainya, dia juga mungkir.
Jadi bagi Aziz, hidup adalah komidi belaka. Kejujuran tidak ada pada masyarakat, baik laki-laki
atau perempuan. Kejujuran adalah bergantung kepada wang.
Kawin tidak ada gunanya asal suka sama suka. Sebab itu hanya ijab dan kabul, yang
perempuan dibolehkan orane tuanya, baru boleh kawin, kalau tidak, tidak boleh. Yang demikian
adalah merampas kemerdekaan. Lebih baik turutkan saja kehendak hati sedang badan muda,
kalau sudah tua, yaitu kesempatan kesenangan tak ada lagi barulah perbaiki diri, baru kawin!
Tetapi sungguh pun begitu, kepada kaum keluarga ada juga segannya sedikit. Itulah sebabnya
dia tinggal di Padang, supaya jangan mengganggu pendengaran kaum kerabat kiri-kanan. Kalau
dia pulang sekali-sekali dan disebutkan kepadanya perkara kawin, tidaklah itu alasan yang
dikeluarkannya, hanyalah dijawabnya saja: "Belum hendak kawin, belum ada yang setuju."
Adiknya Khadijah telah bertunangan, seorang muda yang kaya, baru saja menerima pusaka
toko besar di Bukittinggi dan berpikiran modern pula. Tetapi dia hendak mencoba dahulu,
melunakkan hati saLidaranya supaya suka pula kawin. Yang maksud hatinya akan jodoh
saudaranya ialah Hayati. Mudah-mudahan keborosan dan pikiran muda saudaranya itu dapat
berobah jika mendapat isteri sebagai Elayati yang alim itu. Apalagi Hayati cantik benar,
perasaan kampungnya dapatlah dibentuk supaya lebih maju, jika kelak tinggal di kota. Apalagi
kota sebagai Padang.