Page 60 - Tenggelamnya Kapal
P. 60
"Itu hanya bayangan, Hayati, sekali lagi saya katakan, itu hanya bayangan," ujar Khadijah.
"Engkau boleh menahan hatimu dengan pakaian yang buruk dekat lakimu, boleh bersabar
dengan rumah yang tak sederhana, jika hanya berdua saja. Tetapi tak lama engkau dapat
menahan hati mendengarkan rayuan angin yang masuk dari celah tingkap rumahmu. Tak lama
engkau dapat me - nahan hati, melihat mata orang yang rtiemandangmu dengan belas kasihan.
Ketika itu cinta itu akan berangsur surut, engkau mulamula menyesali nasib. Bila nasib telah
disesali, tentu lama-lama pindah penyesalan kepada yang menyebabkan datangnyanasibitu,
[94] ialah si suami. Suami pun demikian pula. Berapa banyak saya dengar, berita dari orang
yang telah bersuami, mengatakan bahwa ada laki-laki yang mengatakan isterinya sial,
mengatakan isterinya menyebabkan dia dapat naas."
"Bimbang," itulah yang timbul selama Hayati ada di Padang pajang. Jika dia akan masuk
ketempat tidurnya, terbayang air mata Zainuddin, terupa bujuk cumbu Khadijah, kadang-
kadang keras, kadang-kadang lunak, teringat senyum Aziz yang pandai menarik hati itu.
Sehabis pasar keramaian, dia pun bersiaplah hendak kembali ke kampungnya. Mereka berjanji
akan senantiasa ingat mengingat. Kain-kain telah dibungkus, beberapa helai baju kebaya
potongan Bandung telah dibikin dengan ongkos Khadijah sendiri.
Ketika dia akan naik ke bendi, Aziz serta Khadijah, dan ibunya, lama-sama melepas. Ketika
berjabat salam, lama sekali tangannya dipegang oleh Khadijah. Dengan sikap yang sungguh-
sungguh Khadijah berkata: "Jika ada mulutku yang ganjii kepadamu, kalau manis jangan lekas
diulur, kalau pahit jangan iekas diludahkan, pikirkan baik-baik dahulu."
Hayati tak menjawab, dia hanya menarik nafas panjang, dia bimbang! Dari cinta, turunlah dia
kepada belas kasihan, belas kasihan sekarang telah diserang pula oleh kebimbangan.......
Setelah bendinya jauh, orang-orang itu pun kembalilah ke nimah. Lama sekali Hayati dan Mak-
tengah Limahnya menjadi pembicaraan. Mula-mula memuji sambil bergurau, memperkatakan
perangai Mak-tengah Limah tinggal di kota. bagaimana lakunya di atas rumah, bahwa dia tak
suka duduk di kursi yang terlalu besar itu. Sampai kepada Hayati yang cantik selalu, walau pun
pakaian apa yang dipakainya. Aziz pun telah turut pula memuji-mujinya.
"Alangkah baiknya jika kita berkarib dengan dia," ujar Khadijah memutuskan pembicaraan
saudaranya sambii tersenyum! "Kalau kita berkerabat dengan dia, bukan main megahnya itu.
Barangkali orang yang akan disuruh pergi yang tak mau!" ujar ibunya sambil melihat Aziz
dengan sudut mata. [95]
Aziz hanya menekur sambil mengulaikan kepalanya ke korsi dan kemudian menengadah ke
loteng, seakan-akan tak terdengar olehnya.
"Bagaimana ini Uda," *) kata Khadijah pura, "peremiman seperti Hayati itu sudah sepantasnya
untuk kita.
"). Uda, artinyu Abang (Padang). Uda, artinya ayah kecil (Tapanuli)
Rupa tak ada tolok bandingnya, pribahasanya amat tinggi, maklumlah orang kampung, adat
kota tidak pula kalah. Misalnya kalau jadi, bukan main keberuntungan kita."
"Sebetulnya di dalam pergaulan seminggu itu, banyak benar perangainya yang menarik hati
saya. Kalau dapat kita minta, alangkah baiknya," kata ibunya pula.
"Gadis kampung salahnyaterlalukaku kalau dibawa ke kota, " kata Aziz dengan suara lunak.
"Itu mudah diperbaiki. Kalau kita palut badannya dengan mas, diberi kesenangan yang
memuaskan, tentu dia akan berobah menjadi orang kota yang modern kelak," kata Khadijah.