Page 102 - kebudayaan
P. 102
(Moestika Romans, t. III–IX, 36–98, Desember 1932–Februari 1938),
“Itu Perampok” (1933) (Moestika Romans, t. IV–VI, 38–63, Februari
1933 Maret 1935), Berkahnya Malaise (1933), “Drama di Loro Ireng
atawa korbannya Candu” (1933) (Moestika Romans, t. IV–V, 47–51,
Nopember 1933–Maret 1934), “Jin Item dari Legok Honje” (1935)
(Moestika Romans, t. VI, 65, Mei hlm 181–1984), “Asepnya Hio dan
Kayu Garu” (1939) (Moestika Romans t. X–XI, 110–121, Februari
1939–Januari 1940), “Itu Nona Bertopeng Biru” (Moestika Romans
XII–XIII, 134–135, Februari 1941–Januari 1942).
Karya Drama di Boven Digul memiliki tokoh utama Raden
Moestari dan Noerani. Tokoh-tokoh lain adalah Mas Boekarim yang
merupakan ayah Noerani. Radeko merupakan pemuda komunis yang
ingin menikahi Noerani, tetapi gadis ini sudah memiliki kekasih ber-
nama Raden Moestari. Novel ini mengisahkan percintaan Moestari
dan Noerani yang terhalang restu keluarga. Ayah Raden Moestari
adalah Bupati Sukabuwana. Keluarga Moestari tidak menyetujui
karena Noerani berasal dari kalangan proletar dan ayahnya adalah
tokoh komunis. Sementara itu, ayah Noerani tidak setuju karena
Moestari adalah seorang anak bupati yang dianggapnya akan selalu
menyengsarakan rakyat.
Beberapa tulisan sudah dibuat tentang karya drama ini, di
antaranya tulisan Leo Suryadinata. Ia menyatakan bahwa Kwee me-
miliki sikap yang negatif terhadap pemberontakan PKI tahun 1926
dan dari peristiwa itu terciptalah karya novel Drama di Boven Digul
(Suryadinata, 1996). Dia juga menyatakan bahwa Kwee menginginkan
kaum wanita menjadi terpelajar dan menganjurkan mereka membaca Buku ini tidak diperjualbelikan.
buku filsafat dan agama—buku yang menurut anggapan umum hanya
dibaca oleh para sarjana. Jadi, dalam karyanya, Kwee menghadirkan
beberapa tokoh wanita terpelajar yang gemar membaca buku filsafat,
salah satunya dalam Drama di Boven Digul (Suryadinata, 1996). Se-
mentara itu, Salmon (1985) menyatakan bahwa novel panjang Drama
Posisi Peranakan Tionghoa ... 89