Page 107 - kebudayaan
P. 107
“Ayahku bilang, kalu orang tida berani timbulken revolutie dan tum-
pahken darah, tida bisa ada kamajuan.”
“Itu pun brankalih ada bener, tapi sabagitu lama masih terbuka laen
jalan yang bersifat evolusi dan dami buat bikin beruntung dan majunya
rahayat, mengapakah orang musti ambil jalan yang ngeri dan hebat? …
(Hoay, 2001).
Kwee Tek Hoay tampaknya ingin menyampaikan bahwa kema-
panan pun dapat tergoyahkan karena keinginan membentuk negara
Indonesia. Kaum komunis pada saat itu menginginkan terbentuknya
negara Indonesia dengan segera melalui jalan revolusi. Moestari dan
Noerani sebenarnya juga menginginkan negara yang baru yang bebas
dari Belanda, tetapi dengan cara yang berbeda. Jalan tengah yang
ditawarkan oleh pengarang, yang disampaikan melalui simbol tokoh
Noerani, adalah kemerdekaan yang dicapai dengan cara yang baik,
tidak memunculkan pertumpahan darah, dan tidak menjadikan rakyat
sebagai korban. Cinta Moestari kepada Noerani tampaknya dimaksud-
kan oleh pengarangnya sebagai simbol cinta anak muda (dalam hal ini
Moestari) kepada ibu pertiwi, kepada bangsanya, kepada Indonesia.
Cinta itu berbentuk cinta yang penuh pengorbanan. Moestari bersedia
mengorbankan pangkat dan jabatannya, keluarganya, hartanya, bahkan
kehormatannya sebagai seorang bangsawan. Sementara itu, Boekarim
adalah tokoh yang juga menginginkan kemerdekaan, tetapi dengan
jalan revolusi. Boekarim adalah seorang tokoh gerakan komunis pada
masa itu. Gerakan ini menginginkan Indonesia merdeka dan lepas dari
kekuasaan Belanda, seperti tergambar dalam kutipan ini. Buku ini tidak diperjualbelikan.
“Satengah jam lalu politie sudah tangkap padaku justru waktu aku baru
keluar dari rumah aken pimpin orang-orangku. Tapi maskipun aku
sendiri gagal, masih ada banyak kawan-kawan laen yang nanti selesaikan
ini pekerjaan, hingga kita punya gerakan pasti aken berhasil, maka
kalu kau sendiri ingin selamat dan mengandung niat aken memajukan
94 Narasi Kebangsaan dalam ...