Page 137 - kebudayaan
P. 137

Sebagai seorang kepala keluarga, terlihat sekali segala upaya guru
            Isa di balik segala keterbatasannya. Dalam kondisi yang terjepit itulah
            terlintas dalam pikirannya untuk mencuri buku tulis sekolah dan
            menjualnya ke pasar. Dengan tangan gemetar, guru Isa membuka-buka
            lemari tempat penyimpanan buku tulis, mengambil sebanyak sepuluh
            buku tulis, kemudian menutupnya kembali. Apa yang dilakukan guru
            Isa merupakan suatu hal yang wajar. Seseorang yang terdesak tentu
            berani melakukan apa saja demi kelangsungan hidup keluarganya.

                Dengan tangan gemetar, guru Isa membuka buku tulis baru itu, diambil-
                nya sepuluh dan lemari itu ditutupnya kembali. Ketika sampai di pasar,
                guru Isa tidak mampu untuk membantah atau menawar ketika orang
                Tionghoa yang punya warung menawarkan hanya lima rupiah untuk
                buku tulis (Lubis, 1992: 72).

                Dari kutipan tersebut, terlihat keberanian guru Isa, yang sedang
            dalam tekanan ekonomi, untuk mempertahankan hidup keluarganya.
            Demi sesuap nasi, apa pun akan dilakukannya. Apa yang dilakukan
            guru Isa sebenarnya sangat tidak terpuji. Namun, guru Isa muncul
            se bagai tokoh yang pemberani karena ingin mempertahankan
            kehidup an keluarganya hari demi hari.
                Keberanian guru Isa juga tampak ketika mengetahui dirinya im-
            poten. Ia, siap tidak siap, harus menghadapi perubahan sikap istrinya.
            Sebagai suami istri, hubungan seksual penting untuk keharmonisan
            rumah tangga. Jika hal ini mengalami gangguan, dapat dipastikan
            kehidupan rumah tangga pun akan goyah. Hal itu pula yang diung-
            kapkan oleh Fatimah, istri guru Isa, yang secara terus-terang ingin   Buku ini tidak diperjualbelikan.
            mengadopsi anak. Ketika guru Isa menentangnya dengan alasan akan
            menambah biaya hidup, Fatimah marah dan terjadi percekcokan.
            Fatimah bahkan tidak sungkan mengeluarkan kata-kata kasar, “…
            dari engkau sendiri tidak bisa dapat anak” (Lubis, 1992: 30).







          124    Narasi Kebangsaan dalam ...
   132   133   134   135   136   137   138   139   140   141   142