Page 169 - kebudayaan
P. 169

bahasa bukan hanya sebagai cara untuk berkomunikasi, melainkan
            juga alat untuk membentuk nilai dalam diri setiap orang. Jika kita
            mampu memenangkan bahasa kita menjadi bahasa yang berdaulat,
            kita juga memiliki media untuk menanamkan sekaligus mengonstruk-
            sikan nilai—yang mau kita tanam—dari masyarakat ke dalam diri
            setiap individu. Sebaliknya, menurut Iswadi Pratama, sutradara teater,
            kegagalan kita memahami dan menggunakan bahasa akan membuat
            kita gagal mengonstruksikan nilai-nilai yang kita kehendaki dalam
            setiap individu, masyarakat, dan bangsa (Pratama & Hutabarat, 2012).
                Amir Hamzah hadir pada masa Pujangga Baru atau Angkatan
            ’33, sebuah angkatan dalam sastra Indonesia yang memperjuangkan
            kebangsaan Indonesia dengan tema-tema yang universal (mengindo-
            nesia) dalam tulisan-tulisannya. Tema-tema itu dipengaruhi paham
            modernisme untuk kebudayaan baru, tak ubahnya seperti pada
            masa kini saat berkembangnya keinginan kaum cendekiawan untuk
            membentuk kebudayaan baru Indonesia (Nasution, 2017).

                Kebudayaan baru pada masa itu ditentukan juga oleh beberapa
            penyair yang sezaman dengan Amir Hamzah, seperti Sanusi Pane,
            Armijn Pane, J. E. Tatengkeng, dan Takdir Alisjahbana. Namun, Amir
            Hamzah tidak berjalan seiring dengan penyair sezamannya dalam
            mengembangkan bahasa. Hal ini karena ia mengacu pada bahasa
            yang terdengar asing dan bersumber pada bahasa yang sudah lampau,
            hanya ada dalam kitab-kitab, dan tidak ada dalam komunikasi lisan
            (Damono, 2017).
                Pemikiran Chairil Anwar mungkin berbeda dengan Amir Hamzah,
            tetapi bisa juga dikatakan memiliki kesamaan. Amir Hamzah berada    Buku ini tidak diperjualbelikan.
            pada masa Pujangga Baru, sedangkan Chairil Anwar disebut HB. Jassin
            sebagai pelopor angkatan ’45. Chairil Anwar secara tersirat berang-
            gapan bahwa bahasa sebagai peristiwa yang harus selalu diperbarui.
            Pembaruan yang dilakukan Chairil Anwar tampak dari corak diksi pada
            puisinya yang berkesan baru, seperti iseng, kunyah, radang, sumsum,




          156    Narasi Kebangsaan dalam ...
   164   165   166   167   168   169   170   171   172   173   174