Page 93 - kebudayaan
P. 93
tidak lagi dapat berbahasa Tionghoa. Mereka menggunakan bahasa
Melayu dan dikenal sebagai orang peranakan Tionghoa. Namun,
ketika terjadi imigrasi massal di Indonesia, muncul apa yang disebut
dengan masyarakat totok. Cirinya adalah mereka masih menguasai
bahasa Tionghoa dengan fasih. Kwee Tek Hoay, pengarang yang akan
dibicarakan, merupakan salah satu anggota masyarakat peranakan.
Menurut Santosa (2012), demi mengukuhkan penjajahan
melalui Indische Staatsreglement (IS), penduduk Nusantara pada
masa kolonial Belanda dibagi dalam tiga golongan, yaitu Eropa atau
yang dianggap sederajat, Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), dan
bumiputra. Orang-orang Tionghoa masuk ke dalam golongan Timur
Asing bersama dengan orang Arab, India, dan lainnya. Orang-orang
Tionghoa tersebut berada di tengah-tengah dan seolah-olah menjadi
pemisah antara orang-orang Eropa (baca: Belanda) sebagai penjajah
dan bumiputra (baca: orang-orang terjajah). Posisi tengah tersebut
mungkin masih mampu dipertahankan oleh masyarakat totok, tetapi
bagaimana dengan masyarakat peranakan? Satu kaki mereka memang
berpijak pada negeri Tionghoa, tetapi satu kaki yang lain berpijak di
negeri Hindia Belanda (Indonesia).
Masih menurut Santosa (2012), karya-karya Kwee Tek Hoay hadir
pada masa tersebut untuk mengkritisi pembagian penduduk di Hindia
Belanda dengan menampilkan persoalan cerita cinta antarsuku bangsa.
Beberapa karya Kwee Tek Hoay memang secara kental membicarakan
perkawinan atau percintaan antarsuku bangsa, di antaranya roman
yang berjudul Bunga Roos dari Cikembang. Walaupun karya Kwee
Tek Hoay mengkritisi kebijakan pemerintah kolonial pada masa itu, Buku ini tidak diperjualbelikan.
karya tersebut terkenal dan mengundang simpati.
Karya-karya peranakan Tionghoa pada masa itu memang dapat
dikatakan sebagai karya-karya populer. Kesusastraan Tionghoa pada
masa itu berada pada masa puncak. Sumardjo (2004) menyampaikan
bahwa kesusastraan Tionghoa tumbuh subur karena para penulisnya
80 Narasi Kebangsaan dalam ...