Page 94 - kebudayaan
P. 94
berdomisili di kota-kota dagang yang strategis di sepanjang pantai
utara Jawa sehingga memudahkan distribusi karya-karya mereka
ke seluruh kota di Indonesia. Lebih lanjut, Sumardjo (2004) men-
data penerbitan karya sastra Tionghoa di Jakarta, Bogor, Sukabumi,
Bandung, Cirebon, Pekalongan, Cilacap, Semarang, Solo, Surabaya,
Malang, Jombang, Kediri, Tegal, Kudus, Gresik, Bangil, Bondowoso,
Blitar, Madiun, dan Kebumen. Sumardjo (2004) menambahkan bahwa
orang-orang Tionghoa ini adalah pemilik modal. Mereka membeli
alat-alat percetakan dan membuka penerbitannya sendiri. Hal serupa
juga dilakukan oleh Kwee Tek Hoay sebagaimana disampaikan oleh
John B. Kwee (Kwee, 1980). Pada 1919, Kwee menjual bisnis tekstilnya
dan membeli tanah di Cicurug. Hasil penjualan bisnis tekstil tersebut
digunakan untuk membeli mesin cetak. Kwee kemudian pindah
ke Cicurug. Di tempat itulah dia menulis dan menerbitkan karya-
karyanya.
Sumardjo (2004) juga mengatakan bahwa orang-orang Tiong-
hoa ini di tanah asalnya adalah orang-orang kelas menengah yang
mementingkan pendidikan. Hal ini juga terlihat dalam diri Kwee Tek
Hoay. Kwee bahkan menulis roman berjudul Rumah Sekolah yang
Saya Impikan (1925). Kwee, menurut Sidharta (1996), memang sempat
mendirikan sekolah di sekitar rumahnya, seperti yang digambarkan
dalam romannya. Sekolah itu dilengkapi dengan asrama dan kepala
sekolahnya didatangkan dari Singapura. Namun, sekolah ini kurang
mendapat perhatian masyarakat dan akhirnya ditutup. Sumardjo
(2004) juga menambahkan bahwa orang-orang Tionghoa ini mema-
suki pendidikan modern lebih dahulu dibandingkan kaum bumiputra Buku ini tidak diperjualbelikan.
(Sumardjo, 2004).
Selain itu, penulis-penulis Tionghoa ini umumnya adalah jur-
nalis (Sumardjo, 2004). Kwee pun termasuk jurnalis. Sidharta (1996)
mengatakan bahwa Kwee pernah menjadi wartawan pada pelbagai
surat kabar dan majalah, di antaranya surat kabar Ho Po dan Li Po di
Posisi Peranakan Tionghoa ... 81