Page 182 - Cerita-Rakyat-Pulau-Buru-Kezia-PDF
P. 182
Antologi CeritA rAkyAt PulAu Buru Antologi CeritA rAkyAt PulAu Buru
Melihat pemilik kelapa telah tiba di tempat itu, si kakek
menunjukkan kelapa yang telah dipanjatnya. Tiada satupun
yang berkurang.
“Tuan, bolehkah saya meminum air kelapa ini? Sebutir
saja,” tanya si kakek kepada pemilik kelapa. Rupanya, si
kakek itu kehausan. Akan tetapi, ia tidak berani mengambil
sebutir pun buah kelapa itu tanpa seizin pemiliknya. Si kakek
menunggu hingga pemiliknya datang.
“Ambil saja. Dua, tiga butir juga boleh,” jawab pemilik
kelapa.
“Terima kasih, Tuan. Saya memerlukan satu buah saja,”
jawab si kakek.
Pemilik kelapa itu tertegun. Ia kagum pada si kakek yang
siat sopan kepada siapa saja. Si kakek dapat saja meminum air
kelapa itu tanpa izin. Akan tetapi hal itu tidak ia lakukan. Si
kakek lebih memilih menunggu pemilik kelapa dan meminta
izin langsung. Belum pernah pemilik kelapa itu melihat sikap
orang lain sebaik si kakek itu.
Sikap si kakek itu menjadikan pemilik kelapa menjadi
penasaran. Pemilik kelapa ingin mengetahui siapa sebenarnya
si kakek itu. Saat si kakek pulang ke tempat tinggalnya, pemilik
kelapa mengikutinya.
Rupanya, si kakek berjalan menuju pantai. Di pantai
berpasir putih itu, bertempat tinggal. Beberapa daun kelapa
kering menjadi alas tubuhnya saat tidur. Sebuah panci kecil
terlihat di dekat sebuah tungku. Panci itu satu-satunya dipakai
untuk memasak.
Si kakek itu dikenal memiliki sikap yang tidak biasa
seperti kebanyakan sikap warga kampung. Jika si kakek
hendak mengambil air, ia akan menunggu hingga pemilik
sumur datang ke tempat itu. Ia juga akan membayar air yang
171 171