Page 198 - Cerita-Rakyat-Pulau-Buru-Kezia-PDF
P. 198
Antologi CeritA rAkyAt PulAu Buru Antologi CeritA rAkyAt PulAu Buru
Sepanjang perjalanan Manggaha dan Laidi terus
bercerita tentang keadaan lautan maupun arah angin. Perahu
mereka perlahan melaju ke arah Pulau Suanggi, dekat Pulau
Manipa. Kabarnya, di antara Pulau Suanggi dna Pulau
Manipa, terdapat selat kecil yang berukuran seratus meter.
Konon, jika malam tiba, para pelaut menghindari selat di
antara kedua pulau itu. Kabar yang ada, di tempat itu sering
terlihat penampakan nyala api besar. Api itu disebut sebagai
gurita laut raksasa. Jangankan hanya perahu kora-kora, kapal
besar sekalipun bisa ditarik ke dasar laut. Selain itu, arus di
selat itu sangat kuat, hampir sama dengan arus di Tanjung Sole
atau Selat Capalulu.
Pukul sebelas, ketiga pemuda itu mendarat di Pulau
Manipa. Mereka telah mencapai tujuan pertama tanpa
gangguan apapun. Ketiganya beristirahat sambil makan siang
di Pulau Manipa.
”Selanjutnya kita harus menuju ke Pulau Kelang,” ucap
Manggaha menyampaikan tujuan pelayaran selanjutnya
kepada kedua temannya.
“Iya kita harus berhati-hati. Kemarin kita dari Pulau
Buru dibantu angin sibu-sibu,” jawab Laidi sambil menarik
napas panjang.
“Mengapa Laidi? Apa yang kau pikirkan?” tanya
Manggaha penasaran.
“Setelah ini kita harus melawan angin tenggara yang
terkenal ganas. Sangat kuat arusnya, juga berombak,” jawab
Laidi.
“Kalau begitu, kita akan berangkat pada sore hari,”
jawab Manggaha. Sebagai pemimpin tiga lelaki perkasa dari
Pulau Buru, ia harus memutuskan rencana selanjutnya.
“Tidak bisa sore hari. Angin masih bertiup kencang.
Sebaiknya malam hari,” bantah Laidi.
187 187