Page 199 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 199
http://pustaka-indo.blogspot.com
kepadanya, keseluruhan komunitas akan diuntungkan sebab
“mereka akan menyanyi sebagaimana mestinya, dan
sungguh-sungguh berada bersamanya”. 51
Yang Esa sangat impersonal; tidak bergender dan sama
sekali tidak menyadari kita. Demikian pula, Pikiran (nous)
secara gramatikal adalah maskulin dan Jiwa (psyche) adalah
feminin. Ini menunjukkan suatu keinginan dari Plotinus
sendiri untuk mempertahankan visi kuno pagan tentang
keseimbangan dan harmoni seksual. Tidak seperti Tuhan
biblikal, Yang Esa tidak datang untuk menemui kita dan
membimbing kita pulang. Dia tidak merindukan kita, atau
mencintai kita, atau mengungkapkan dirinya kepada kita. Dia
tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu di luar dirinya. 52
Namun demikian, jiwa manusia kadang tergetar dalam
pengenalan memabukkan tentang Yang Esa. Filsafat Plotinus
bukan merupakan sebuah proses berlogika, melainkan
sebuah pencarian spiritual:
Kita di sini, demi tujuan kita, mesti
mengesampingkan segala sesuatu yang lain dan
menyediakan diri untuk Ini saja, menjadi Ini
saja, meninggalkan semua beban; kita mesti
bersegera keluar dari sini, tak sabar akan
ikatan duniawi kita, untuk merangkul Tuhan
dengan segenap keberadaan kita sehingga tak
ada bagian kita yang tidak tergantung kepada
Tuhan. Di sana, kita bisa melihat Tuhan dan
diri kita sendiri terungkap: diri kita dalam
kemegahan, dipenuhi cahaya Akal, atau
tepatnya, cahaya itu sendiri, murni,
mengapung, terbang, menjadi—pada
kenyataannya, adalah— tuhan. 53
Tuhan ini bukanlah suatu objek asing, melainkan diri kita yang
terbaik. Ia timbul “bukan dengan cara mengetahui, bukan
~192~ (pustaka-indo)