Page 196 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 196
http://pustaka-indo.blogspot.com
keterbatasan akal untuk menyelami inti realitas. Namun
demikian, ini bukanlah pendakian ke puncak realitas yang
berada di luar diri kita, melainkan turun menyelam ke dalam
lubuk hati. Pendek kata, sebuah pendakian ke dalam batin.
Realitas tertinggi merupakan sebuah kesatuan primal yang
oleh Plotinus disebut sebagai Yang Esa. Segala sesuatu
meminjam eksistensi mereka dari realitas potensial ini.
Karena Yang Esa merupakan kesederhanaan itu sendiri, tak
ada yang bisa diceritakan mengenainya: tak ada padanya
suatu kualitas yang berbeda dari esensinya, yang dapat
memungkinkan deskripsi dalam cara biasa. Dia ada begitu
saja. Akibatnya, Yang Esa itu tidak bernama: “Jika kita
berpikir positif tentang Yang Esa,” jelas Plotinus, “kebenaran
46
akan lebih banyak terdapat dalam hening.” Kita bahkan tak
bisa mengatakan bahwa dia ada, karena sebagai Wujud itu
sendiri, dia “bukanlah sesuatu, melainkan berbeda dari
47
segala sesuatu.” Sesungguhnya, Plotinus menjelaskan, dia
“adalah Segala Sesuatu dan Bukan Sesuatu; dia bukanlah
salah satu dari apa yang ada, namun demikian dia adalah
48
semuanya.” Kita akan menyaksikan bahwa persepsi ini
akan menjadi sebuah tema yang konstan dalam sejarah
Tuhan.
Akan tetapi, hening bukanlah keseluruhan kebenaran, kata
Plotinus, sebab kita mampu untuk tiba pada pengetahuan
tertentu tentang yang ilahi. Adalah mustahil jika Yang Esa itu
tetap terbungkus dalam rahasia yang tak bisa ditembus. Yang
Esa mesti telah melampaui dirinya sendiri, melampaui
Kesederhanaannya dengan tujuan menjadikan dirinya bisa
dipahami oleh wujud-wujud tak sempurna seperti kita.
Transendensi ilahi ini bisa digambarkan apa yang disebut
“ekstasi”, karena merupakan peristiwa “keluar dari diri
sendiri” dalam kebaikan murni: “Tak mencari apa-apa, tak
~189~ (pustaka-indo)