Page 200 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 200
http://pustaka-indo.blogspot.com
pula dengan Pemikiran yang menemukan wujud-wujud Akal
[di dalam Pikiran atau nous], tetapi melalui suatu kehadiran
(parousia) yang melampaui semua pengetahuan”. 54
Kristen menemukan dirinya berada dalam sebuah dunia yang
didominasi ide-ide Platonis. Semenjak itu, ketika para pemikir
Kristen mencoba menjelaskan pengalaman religius mereka
sendiri, secara alamiah mereka beralih kepada visi
Neoplatonis dari Plotinus dan pengikut-pengikut pagannya di
kemudian hari. Gagasan tentang pencerahan yang
impersonal, di luar kategori-kategori manusia, dan alamiah
bagi kemanusiaan juga dekat dengan cita-cita Hindu dan
kaum Buddha di India, tempat yang begitu ingin dipelajari
Plotinus. Dengan demikian, meski ada beberapa perbedaan
yang lebih superfisial, terdapat kemiripan nyata antara
monoteisme dan visi-visi lain tentang realitas. Tampaknya
ketika manusia berkontemplasi tentang yang mutlak, mereka
tiba pada gagasan dan pengalaman yang sangat mirip. Rasa
kehadiran, mabuk, dan gentar dalam kehadiran sebuah
realitas—yang disebut nirvana, Yang Esa, Brahman, atau
Tuhan—sepertinya merupakan keadaan pikiran dan persepsi
yang alamiah dan tak henti-hentinya dicari manusia.
Sebagian orang Kristen memutuskan untuk menjalin
hubungan persahabatan dengan dunia Yunani. Yang lainnya
tidak menginginkan hubungan apa pun dengan mereka.
Selama masa merebaknya penyiksaan terhadap Kristen di
kekaisaran Romawi pada tahun 170an, seorang nabi baru
bernama Montanus muncul di Phyrgia di wilayah Turki
modern, yang mengaku sebagai avatar ilahi: “Akulah Tuhan
Yang Mahakuasa, yang turun kepada seorang manusia,”
begitu pernah diucapkannya; “Aku adalah Bapa, putra, dan
Perantara.” Sahabat-sahabatnya Priscilla dan Maximilla juga
55
membuat klaim serupa. Montanisme merupakan kredo
~193~ (pustaka-indo)