Page 195 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 195
http://pustaka-indo.blogspot.com
digambarkan sebagai garis batas yang penting: dia telah
menyerap aliran-aliran pemikiran utama dari 800 tahun
pemikiran spekulatif Yunani dan mentransmisikannya dalam
sebuah bentuk yang mempengaruhi tokoh-tokoh terkemuka
pada abad kita, seperti T.S. Eliot dan Henri Bergson.
Berpijak pada gagasan-gagasan Plato, Plotinus
mengembangkan suatu sistem yang dirancang untuk
mencapai pemahaman tentang diri. Dia sama sekali tidak
tertarik untuk menemukan penjelasan ilmiah atas alam
semesta atau berupaya menjelaskan asal usul fisik
kehidupan; bukannya mencari penjelasan objektif dari dunia
luar, Plotinus justru mengajak murid-muridnya untuk surut ke
dalam diri mereka sendiri dan memulai eksplorasi mereka
dari kedalaman jiwa.
Manusia sadar bahwa ada sesuatu yang tak beres dengan
kondisi mereka; mereka merasakan kejanggalan dengan diri
sendiri dan orang lain, tak terhubungkan dengan hakikat batin
mereka dan kehilangan arah. Konflik dan hilangnya
kesederhanaan tampak telah menjadi ciri eksistensi kita.
Meskipun demikian kita tak henti-hentinya berupaya untuk
memadukan fenomena yang beragam itu dan mereduksinya
menjadi semacam keutuhan yang tertata. Ketika secara
sepintas kita melihat seseorang, kita tidak hanya melihat
sebuah kaki, tangan, dan kepala, tetapi secara automatis kita
mengorganisasikan unsur-unsur ini menjadi sesosok manusia
utuh. Dorongan ke arah keutuhan ini bersifat fundamental
bagi cara bekerja akal kita dan diyakini Plotinus pasti juga
mencerminkan esensi sesuatu secara umum. Untuk
menemukan kebenaran mendasar realitas, jiwa mesti menata
ulang dirinya, menjalani periode penyucian (katharsis) dan
tenggelam dalam kontemplasi (theoria), seperti yang
disarankan Plato. Jiwa perlu melihat melampaui kosmos,
melampaui dunia indriawi, dan bahkan melampaui
~188~ (pustaka-indo)