Page 245 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 245
http://pustaka-indo.blogspot.com
menetralkan bahaya keberhalaan. Begitu “Tuhan” dilihat
sebagai realitas yang sama sekali lain “di luar sana”, dia
dengan mudah akan menjadi sekadar berhala dan proyeksi,
yang membuat manusia mengeksternalisasi dan menyembah
praduga dan hasrat mereka sendiri. Tradisi-tradisi
keagamaan yang lain telah berupaya mencegah hal ini
dengan menekankan bahwa Yang Mutlak itu bagaimanapun
terjalin dengan kondisi manusia, seperti dalam paradigma
Brahman-Atman. Arius—kemudian Nestorius dan Eutyches
—kesemuanya ingin membuat Yesus entah manusia atau
ilahi, dan mereka berkeras sebagiannya karena
kecenderungan untuk tetap memisahkan kemanusiaan dan
keilahian dalam tataran terpisah. Benar, jalan keluar yang
mereka tempuh lebih bersifat rasional, namun dogma—
sebagai lawan dari kerygma—tidak mesti terbatas pada apa-
apa yang bisa diungkapkan sepenuhnya, seperti puisi atau
musik. Doktrin Inkarnasi—seperti yang secara serampangan
dikemukakan oleh Athanasius dan Maximus—merupakan
upaya mengartikulasikan pandangan universal bahwa
“Tuhan” dan manusia haruslah tak terpisah. Di Barat, di
mana Inkarnasi tidak diformulasikan dengan cara ini,
terdapat kecenderungan untuk memandang Tuhan tetap
bersifat eksternal terhadap manusia dan sebagai realitas
alternatif bagi dunia yang kita kenal. Akibatnya, sangat
mudah untuk menjadikan “Tuhan” ini sekadar sebagai sebuah
proyeksi— yang belakangan malah sudah ditinggalkan.
Namun, dengan membuat Yesus sebagai satu-satunya
avatar, kita telah menyaksikan bahwa orang Kristen telah
mengambil pandangan eksklusif tentang kebenaran agama:
Yesus adalah Firman Tuhan yang Pertama dan Terakhir bagi
umat manusia, membuat wahyu-wahyu masa depan tak
diperlukan lagi. Akibatnya, sebagaimana juga orang Yahudi,
mereka guncang ketika pada abad ketujuh di Arabia, muncul
~238~ (pustaka-indo)