Page 249 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 249

http://pustaka-indo.blogspot.com
             miskin  dan  lemah  dalam  kelompok  etnik  mereka.  Kini,
             individualisme  telah  menggantikan  nilai-nilai  komunal  dan
             persaingan berkembang menjadi norma. Setiap individu mulai
             mengumpulkan  kekayaan  pribadi  dan  tidak  peduli  kepada
             orang-orang Quraisy yang lemah. Setiap klan, atau kelompok
             keluarga  suku  yang  lebih  kecil,  saling  bertikai  untuk
             mendapat bagian dalam kemakmuran Makkah, dan sebagian
             dari  klan  yang  kurang  beruntung  (seperti  klan  Muhammad
             sendiri, yakni klan Bani hasyim) merasa bahwa kelangsungan
             hidup  mereka  tengah  terancam.  Muhammad  yakin  bahwa
             jika  kaum  Quraisy  tidak  meletakkan  nilai  transenden  lain  di
             pusat  kehidupan  mereka  dan  menaklukkan  egoisme  dan
             ketamakan  mereka,  maka  suku  itu  akan  terpecah  belah
             secara moral dan politik akibat perselisihan yang keras.

             Situasi  di  bagian  lain  Jazirah  Arabia  juga  suram.  Selama
             berabad-abad, suku-suku Badui di kawasan Hijaz dan Nejed
             telah  hidup  dalam  persaingan  tajam  satu  sama  lain  demi
             memperebutkan    kebutuhan-kebutuhan   pokok.   Untuk
             membantu  masyarakat  menanamkan  semangat  komunal
             yang  esensial  bagi  pertahanan  hidup,  orang  Arab  telah
             mengembangkan  sebuah  ideologi  yang  disebut  muruwah,
             suatu  konsep  etik  yang  banyak  mengandung  fungsi  agama.
             Dalam pengertian konvensional, orang Arab hanya memiliki
             sedikit  waktu  bagi  agama.  Mereka  mempunyai  sekumpulan
             dewa-dewa pagan dan beribadat di tempat-tempat suci para
             dewa  itu,  namun  tidak  mengembangkan  mitologi  yang
             menjelaskan  relevansi  dewa-dewa  dan  tempat-tempat  suci
             ini  bagi  kehidupan  ruhani.  Mereka  tak  memiliki  pandangan
             tentang kehidupan setelah mati, tetapi percaya bahwa dahr,
             yang  dapat  diterjemahkan  sebagai  “waktu”  dan  “nasib”,
             sangatlah  penting—sebuah  sikap  yang  barangkali  esensial
             dalam masyarakat yang angka kematiannya begitu tinggi.





                            ~242~ (pustaka-indo)
   244   245   246   247   248   249   250   251   252   253   254