Page 85 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 85
http://pustaka-indo.blogspot.com
merenungkannya. Seperti Sokrates, dia memandang
pemikiran sebagai proses mengingat kembali (recollection),
pemahaman sesuatu yang pernah kita ketahui, namun telah
terlupa. Karena manusia merupakan kesucian yang
tercampak, bentuk-bentuk alam ilahiah ada dalam diri
mereka dan bisa “disentuh” oleh nalar, yang bukan sekadar
aktivitas rasional atau otak melainkan sebuah cerapan intuitif
akan realitas abadi yang ada dalam diri kita. Gagasan ini
akan sangat berpengaruh terhadap kaum mistik dalam ketiga
agama monoteis.
Plato percaya bahwa alam semesta pada dasarnya rasional.
Ini adalah mitos atau konsepsi imajiner lain tentang realitas.
Aristoteles (384322 SM) mengambil langkah lebih jauh. Dia
adalah orang pertama yang mengapresiasi arti penting
penalaran logis, basis semua ilmu pengetahuan, dan yakin
bahwa adalah mungkin bagi kita untuk mencapai pengertian
tentang alam semesta dengan cara menerapkan metode ini.
Selain mengupayakan pemahaman teoretis tentang
kebenaran dalam empat belas risalah yang dikenal sebagai
Metaphysics (istilah yang diciptakan oleh editornya, yang
menempatkan urutan risalah ini “sesudah Physics”: meta ta
physika), dia juga mempelajari fisika teoretis dan biologi
empiris. Meskipun demikian, dia memiliki kesantunan
intelektual yang besar, bersikeras bahwa tak seorang pun
mampu mencapai konsepsi yang memadai tentang
kebenaran, tetapi setiap orang bisa memberikan sumbangsih
kecil terhadap pemahaman kolektif manusia. Banyak
kontroversi mengenai penilaiannya terhadap karya Plato. Dia
tampaknya secara temperamental menentang pandangan
Plato mengenai transendensi bentuk-bentuk, menolak
gagasan bahwa bentuk-bentuk itu mempunyai eksistensi
pendahulu yang independen. Aristoteles berpendapat bahwa
bentuk-bentuk itu hanya memiliki realitas sebagaimana
~78~ (pustaka-indo)