Page 94 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 94
http://pustaka-indo.blogspot.com
tentang realitas tertinggi yang agak berbeda mulai muncul di
Israel: pengalaman dengan Tuhan ini merupakan pertemuan
dengan seseorang. Meskipun terdapat keberbedaan yang
mencolok, Yahweh bisa berbicara dan Yesaya juga bisa
menjawab. Lagi-lagi, hal ini nyaris tidak dapat dikonsepsikan
oleh para guru Upanishads, karena ide tentang berdialog
atau bertemu dengan Brahman-Atman merupakan bentuk
antropomorfis yang tidak layak.
Yahweh bertanya, “Siapakah yang akan Kuutus, dan
siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Dan, seperti
pendahulunya Musa, Yesaya segera menjawab, “Ini aku!
[hineni!], utuslah aku!” Tema pokok visi ini bukanlah untuk
mencerahkan nabi, melainkan memberinya tugas praktis
untuk dipikul. Pada dasarnya, nabi adalah manusia yang
bertindak mewakili Tuhan, namun pengalaman transendensi
ini tidak berakibat pada penanaman pengetahuan—
sebagaimana dalam Buddhisme—tetapi pada perbuatan.
Nabi tidak disifati oleh iluminasi mistikal, tetapi oleh ketaatan.
Sebagaimana dapat diperkirakan, risalah tidak pernah
merupakan hal yang mudah. Dengan paradoks tipikal
Semitik, Yahweh berfirman kepada Yesaya bahwa manusia
tidak akan menerima risalahnya: dia tidak boleh kecewa jika
mereka menolak firman Tuhan. “Pergilah dan katakanlah
kepada bangsa ini: Dengarlah sungguh-sungguh, tetapi
mengerti: jangan! lihatlah sungguh-sungguh, tetapi
menanggap: jangan!” 6
Tujuh ratus tahun kemudian, Yesus (Isa) akan mengutip kata-
kata ini ketika orang menolak mendengarkan risalahnya yang
7
tak kalah keras. Manusia memang tidak bisa menanggung
terlalu banyak realitas. Orang Israel pada zaman Yesaya
tengah berada di ambang peperangan dan kepunahan, tapi
Yahweh tidak menyampaikan pesan yang menggembirakan
~87~ (pustaka-indo)