Page 116 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 116
sarjana yang ke mana-mana menenteng stopmap berisi surat
lamaran kerja, hanya karena dia malu melakukan pekerjaan lain
di luar kantor.
Tapi sejak konsep globalisasi dipopulerkan oleh John
Naisbitt pada akhir dekade 1980-an melalui bukunya Megatrend
2000, konsep "persaingan" telah merambah dan menjadi idiom
dalam institusi pendidikan nasional, tanpa pernah dikritisi. Iro-
nisnya, kata itu malah masuk ke dalam dokumen-dokumen resmi
pendidikan, misalnya UU Sistem Pendidikan Nasional. Betulkah
anak-anak kita harus bersaing? Jika betul, bersaing dengan siapa,
di mana, kapan, dan untuk apa? Bila jawabannya adalah bersaing
dengan negara-negara lain, di Indonesia khususnya dan dunia
pada umumnya, terutama setelah globalisasi untuk mempere-
butkan lapangan pekerjaan, maka pertanyaan berikutnya, betul-
kah bahwa sekadar untuk mendapatkan pekerjaan saja anak-
anak Indonesia harus bersaing di negerinya sendiri dengan
orang-orang dari luar negeri? Atau bersaing untuk mendapatkan
sumber daya ekonomi lainnya? Bila semuanya itu betul, maka
sungguh mengenaskan nasib generasi mendatang, sebagai akibat
dari kebodohan generasi tuanya.
Paulo Freire selalu mengingatkan bahwa pendidikan kritis
bukanlah sebuah metode, melainkan suatu ideologi. Karena
bukan metode, maka salah besar bila orang ingin memperoleh
metode pendidikan kritis. Kritis itu tercermin dari substansi
yang disampaikan. Sebab, metode pendidikan kaum dewasa
(andragogi) pun belum tentu melahirkan masyarakat yang kritis
bila substansi yang disampaikannya adalah substansi yang men-
dukung neoliberalisme.
Analog dengan pandangan Freire tersebut, penulis percaya
bahwa KBK akan berhasil bila tidak diperlakukan sebagai metode,
melainkan sebagai ideologi pendidikan. Sebagai ideologi, ia akan
menjiwai atau menjadi roh dari seluruh sistem pendidikan nasi-
onal, sehingga ia akan masuk ke seluruh pori-pori pendidikan
nasional melalui setiap materi pelajaran yang diberikan di seko-