Page 113 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 113
dijelaskan di atas, tanpa disadari akan langsung menyumbang
penyelesaian pada tingkat mikro.
Negeri Indonesia ini sangat luas dan subur serta memiliki
keragaman sumber daya alam, juga sumber daya manusianya.
Logikanya, negeri ini mampu memberikan tingkat penghidupan
layak bagi warganya yang masih di bawah 250 juta, tanpa warga
itu harus bersaing dengan orang lain untuk mendapatkan lapang-
an pekerjaan, baik di negeri sendiri maupun di negara tetangga.
Bila warga di bawah 250 juta itu terpaksa harus bersaing di negeri
sendiri atau di negera tetangga, sekadar untuk mendapatkan
pekerjaan dengan upah pas-pasan, maka pasti terjadi kekeliruan
yang amat mendasar. Kekeliruan tersebut tidak dapat dipecahkan
dengan satu jalan saja, misalnya mengubah kurikulum pendidikan
nasional agar mampu menjawab permasalahan tersebut, sehingga
kurikulum pendidikan nasional pun dirancang sedemikian rupa
agar mampu memberikan kemampuan dasar kepada murid-
murid.
Kerangka berpikir semacam itu betul. Tapi sekali lagi, belum
tentu tepat. Sebab, bila sudah memiliki kemampuan dasar (kom-
petensi), apakah secara otomatis dijamin untuk mendapatkan
lapangan pekerjaan dengan pendapatan yang tinggi? Bila tidak
ada jaminan untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan
yang tinggi, lalu apa beda lulusan sekolah yang memiliki kom-
petensi tertentu dengan yang tidak memiliki kompetensi?
Dengan kata lain, perubahan apa yang terjadi di masyarakat,
ketika sistem pendidikan menerapkan KBK dengan tidak
menerapkannya? Bila ternyata KBK tidak memberikan perubahan
signifikan, mengapa harus beramai-ramai menjalankan KBK yang
menelan biaya besar untuk penyusunan kurikulum, uji coba,
sosialisasi, maupun pelaksanaannya? Jangan-jangan KBK nanti
malah hanya menjebak kita jatuh pada "proyektisme", berorientasi
pada proyek saja.
Bila KBK sendiri dalam tingkat implementasinya lebih di-
pahami sebagai upaya membekali murid kemampuan untuk