Page 108 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 108
kegiatan atau tindakan. Bila wujudnya hanya berupa keteram-
pilan praktis yang dibutuhkan untuk hidup sehari-hari saja, apa-
kah metodenya harus diperlukan perubahan kurikulum secara
mendasar? Bila wujudnya tidak hanya berupa keterampilan
praktis untuk hidup sehari-hari, lalu seperti apa dan bagaimana
cara pengembangannya? Dan bila tujuan akhir dari pengemba-
ngan kompetensi itu dimaksudkan untuk memasok kebutuhan
pasar tenaga kerja (global), maka siapa yang wajib mengem-
bangkannya: pemerintah atau industri yang memerlukannya?
Kecuali itu, bila pada suatu ketika nanti pasar tenaga kerja glo-
bal itu goyah akibat terlalu banyaknya pasokan tenaga kerja
dari berbagai negara, bagaimana nasib KBK tersebut, apakah
akan tetap diteruskan atau diganti dengan sistem lain? Beberapa
pertanyaan dasar ini penting untuk dijawab, agar KBK tidak
mengalami kegagalan yang sama dengan konsep pendidikan liuk
anti mateh dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman
Djojonegoro, yang hanya mampu bertahan —dengan tertatih-
tatih karena tidak diterima secara bulat —selama yang bersang-
kutan menjabat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Setelah si empunya gagasan dan kebijakan tidak lagi menjabat
sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, konsep tersebut
hilang begitu saja ditelan oleh masa, dan orang hanya mengenal
sebagai kenangan belaka.
2. Persepsi terhadap KBK
Mencermati wacana yang berkembang di masyarakat,
penulis menangkap adanya persepsi yang beragam terhadap
KBK. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas RI,
Indra Djati Sidi, misalnya, merumuskan bahwa kurikulum pen-
didikan nasional masa depan dikembangkan berdasarkan kom-
petensi dasar (competency based curiculum). Dalam konsep ini,
kurikulum disusun berdasarkan kemampuan dasar minimal yang
harus dikuasai oleh seorang peserta didik, setelah yang bersang-
kutan menyelesaikan satu unit pelajaran, satu satuan waktu, atau