Page 122 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 122
siatif, kreativitas, apalagi inovasi dari para guru secara indivi-
dual maupun sekolah secara keseluruhan. Sebab, guru takut salah
untuk mengambil inisiatif ataupun mengembangkan kreativitas-
nya. Para guru di sekolah negeri umumnya takut pada kepala
sekolah, kepala sekolah takut pengawas, pengawas takut pada
Kepala Kanwil (Kantor Wilayah), dan Kepala Kanwil takut pada
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan Menteri Pen-
didikan dan Kebudayaan takut pada presiden.
Munculnya reformasi politik pada 1998 berimbas pula pada
bidang pendidikan. Orang mulai banyak meneriakkan penting-
nya reformasi bidang pendidikan. Prof. Dr. Mochtar Buchori
berkali-kali menyerukan pentingnya otonomi guru agar guru
lebih profesional dan independen. Penulis menambahkan bahwa
otonomi bukan hanya berhenti pada otonomi guru, tapi sampai
pada tingkat institusinya, yaitu otonomi sekolah agar sekolah
bisa menentukan langkahnya sendiri tidak dibatasi oleh birokrasi
pendidikan yang ketat.
Namun, apa yang dipaparkan oleh para pejabat Departemen
Pendidikan Nasional yang begitu indah dan amat reformis itu
sirna manakala kita melihat langsung praktik pendidikan di
lapangan. Sebab, yang terjadi di lapangan jauh berbeda dengan
yang dikatakan oleh para pejabat di Jakarta. Kondisinya di
lapangan masih tetap sama seperti dulu sebelum ada reformasi,
alias belum terjadi perubahan apa-apa. Birokrasi pendidikan
masih tetap Orde Baru yang korup, kolusi, manipulatif dan
menindas, sehingga sulit untuk diajak berubah. Corak kepemim-
pinan sekolah juga masih otoriter, tertutup, dan kurang tran-
sparan. Instrumen-instrumen birokrasi pendidikan seperti PGRI,
Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S), Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP), dan pengawas yang merupakan mekanisme
kontrol terhadap para guru, masih tetap kuat dan tidak tersentuh
oleh arus reformasi sama sekali.
Berdasarkan perjumpaan secara intens dengan beberapa
kelompok guru yang tergabung dalam forum-forum guru inde-