Page 123 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 123
penden di banyak daerah, menjadi salah satu pembicara refor-
masi pendidikan, serta memfasilitasi beberapa guru untuk
penyusunan kurikulum muatan lokal dalam bidang lingkungan
hidup, penulis mengetahui bahwa sesungguhnya belum terjadi
perubahan apa-apa dalam praksis pendidikan nasional. Praksis
pendidikan nasional masih tetap berjalan sama dengan irama
pada masa Orde Baru: kaku, tertutup, otoriter, membodohi ma-
syarakat, menindas murid dan guru, sentralistik, dan semakin
tidak terkendali nuansa bisnisnya. Situasi buruk itu tidak hanya
terjadi di sekolah-sekolah negeri saja, tapi juga sekolah-sekolah
swasta. Pada tingkat yayasan belum ada perubahan yang signifi-
kan. Hanya beberapa penyelenggara sekolah swasta saja yang
mencoba melakukan perbaikan internal, terutama hal itu dila-
kukan oleh para penyelenggara sekolah swasta yang memang
memiliki pengetahuan dan pengalaman cukup untuk berubah
lebih baik. Kebanyakan penyelenggara sekolah swasta masih
tetap stagnan seperti sebelum reformasi politik.
Jadi, keluh kesah mengenai praksis pendidikan yang kaku,
tidak demokratis, dan tidak transparan terjadi pada semua seko-
lah, baik negeri maupun swasta. Cuma para guru yang mengajar
di sekolah-sekolah swasta cenderung menerima beban lebih
berat karena tekanannya dobel: berasal dari pengurus yayasan
maupun dari birokrasi pemerintah. Birokrasi pemerintah pun
mengalami metamorfosa bersamaan dengan pelaksanaan oto-
nomi daerah sejak awal 2001.
Kekakuan dan kebekuan praksis pendidikan nasional itu
sering mengundang reaksi dari kalangan internal, terutama para
guru yang kritis. Meskipun demikian, kritik itu dianggap angin
lalu saja, tidak mendapatkan respons yang positif, apalagi ber-
dampak pada perubahan manajerial sekolah.
Para guru yang kritis itu sering berteriak dan menggugat
keberadaan PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), karena
organisasi profesi itu sering dipakai oleh birokrasi untuk
mengontrol para guru yang kritis. Pemindahan beberapa guru