Page 124 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 124
di SMPN 3 di Tangerang, Provinsi Banten tahun 2002, misalnya,
terjadi karena guru tersebut menuntut transparansi pengelolaan
keuangan yang dilakukan oleh kepala sekolah. Pemindahan itu
terjadi karena mendapat dukungan dari pengurus PGRI
Tangerang, yang kebetulan juga menduduki jabatan struktural
di Dinas Pendidikan Tangerang.
Gugatan para guru independen terhadap keberadaan PGRI
juga terkait dengan soal transparansi dalam pengelolaan dana.
Para guru anggota PGRI selalu membayar Rp. 500/guru per
bulan, tetapi tidak pernah diberi pertanggungjawaban oleh PB
PGRI atas penggunaan uangnya dan tidak pernah dibela
profesinya. Sebaliknya, PGRI justru turut menjadi penindas guru,
misalnya kolusi dengan Dinas untuk memindahklan guru-guru
yang tidak disukai oleh kepala sekolah ke daerah terpencil. Kasus
semacam ini sering terjadi di banyak tempat, karena kebetulan
(atau disengaja) pejabat struktural di dinas-dinas pendidikan di
daerah umumnya dipegang oleh pengurus PGRI. Atau sebaliknya
para pengurus PGRI di tingkat daerah itu menjadi pejabat
struktural di dinas-dinas pendidikan, sehingga secara otomatis
tindakan yang diambil oleh pejabat struktural memberikan restu
mutasi tidak bisa dilepaskan dari posisinya sebagai pengurus
PGRI.
1. Bubarkan K3S/MKS
Gugatan terhadap Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S)
berbeda lagi. Para guru yang kritis menuntut pembubaran K3S,
karena di mata mereka K3S merupakan bentuk mafia baru antar-
kepala sekolah guna mempertahankan pengaruh atau status quo-
nya. Posisi kepala sekolah menjadi superkuat; selain tidak dipilih
dari bawah, dan mempunyai intel dari guru-guru yang suka
menjilat, membebek, dan cari amannya saja, juga ditopang mafia
baru yang bernama K3S itu. Menurut para guru yang kritis, mela-
lui K3S, para kepala sekolah yang baru saja diangkat di suatu
sekolah dapat melakukan kontrol secara mudah terhadap para