Page 155 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 155
SD Inpres yang sedang dididirikan, pemerintah merekrut guru
cukup banyak, sesuai dengan kebutuhannya. Proses rekrutmen
yang berlangsung massal dan didasari uang sogok itu otomatis
kurang selektif dari segi kualitas, karakter, dan kepribadiannya.
Sehingga, ketika dibenturkan dengan realitas ekonomi yang
makin kompetitif dan realitas politik yang makin represif, guru
t
tidak punya prinsip, kecuali unduk atau melacurkan diri kepada
yang memberikan SK sebagai pegawai negeri. Dan karena yang
mengklaim memberikan SK itu adalah Golkar (Golongan Karya),
mereka pun tunduk kepada kemauan Golkar untuk memenang-
kan suara dalam setiap Pemilu, termasuk bersedia mengerahkan
pelajar untuk turut apel akbar pada saat-saat menjelang Pemilu
setiap lima tahun sekali.
Guru yang mudah tunduk pada penguasa dan menyerah
pada kondisi yang sulit, baik secara ekonomis maupun politik,
sulit memiliki kewibawaan yang tinggi di masyarakat. Apalagi
di masyarakat yang heterogen, yang tidak seluruhnya mau
tunduk pada rezim yang berkuasa atau menyerah pada sistem
ekonomi yang amat kapitalistik. Guru-guru yang tetap berwibawa
di masyarakat adalah mereka yang memiliki prinsip amat kuat
sehingga tidak bergeming ketika diiming-imingi uang, jabatan,
atau pangkat. Dan guru yang seperti itu sulit ditemukan. Wajar
bila kemudian status sosial guru yang tinggi itu pun sulit dida-
patkan lagi.
4. Marjinalisasi oleh PGRI
Celakanya, organisasi guru seperti PGRI (Persatuan Guru
Republik Indonesia), yang seharusnya berdiri di depan menjadi
pelindung para guru agar tidak termarjinalisasi baik secara eko-
nomis maupun politik, justru menyerah pada penguasa Orde
Baru. Pada masa Orde Baru itu, terjadi perubahan mendasar
pada organisasi guru yang memiliki implikasi pada posisi politik
guru. Sejak masa penjajahan, organisasi profesi guru lebih bersifat
serikat pekerja, terutama bertujuan untuk meningkatkan nasib