Page 150 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 150
penataran-penataran semacam itu hanya akan memboroskan
dana dan membuang energi dengan hasil yang sangat minim,
terutama bila orang-orang yang menatar dan mengkoordinasi
masih tetap sama dengan yang menatar pada masa Orde Baru
dan motivasi utamanya hanya mencari keuntungan material.
2. Marjinalisasi Sosial dan Budaya
Secara sosial dan budaya, marjinalisasi peran guru itu dapat
dilihat melalui semakin merosotnya citra dan status sosial guru,
baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat luas. Di ling-
kungan sekolah, profesi guru tidak lagi dipandang sebagai pro-
fesi yang berwibawa, dihormati, dan diturut segala perkataan-
nya, apalagi diteladani, melainkan dipandang sebagai penjual
jasa lainnya, seperti dokter, pengacara, arsitek, dan lain-lain,
yang hubungan mereka sangat fungsional, bukan hubungan
kemanusiaan. Dengan kata lain, guru sekarang bukan lagi profesi
yang istimewa.
Hal yang sama terjadi di masyarakat. Profesi guru di ma-
syarakat bukan lagi sebagai profesi yang mulia, yang dijunjung
tinggi, dihormati, disegani, diidam-idamkan oleh setiap anak
muda, dan diimpikan oleh setiap orang tua. Para orang tua gadis
kelas menengah pun tidak ada yang bermimpi memiliki menantu
guru karena diidentikkan dengan tingkat pendapatan yang ren-
dah. Guru dianggap sebagai profesi untung-untungan saja: un-
tung masih bisa menjadi pegawai negeri, meskipun hanya sebagai
"
guru. Konsep untung" di situ memperlihatkan bahwa menjadi
guru itu bukan cita-cita sejak awal, tapi cita-cita sampingan.
Demikian pula kata hanya" memiliki makna, bahwa profesi guru
"
bukan merupakan pilihan pertama. Dan kenyataannya, orang
yang menjadi guru memang mereka yang secara ekonomis,
politik, dan budaya kurang beruntung. Orang-orang yang
tergolong sepuluh terbaik di perguruan tinggi, bukan lari menjadi
guru, melainkan memilih bekerja di sektor perbankan, jasa ke-
uangan lain, pemasaran, periklanan, atau businessman.