Page 148 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 148

untuk  meningkatkan    kesejahteraan,  sekaligus  mengembangkan
              diri  tanpa  harus  melacurkan  profesinya  sebagai  pendidik,  sejauh
              kreatif  dan  rajin.  Tapi  justru  dua  hal  inilah  yang  tidak  dimiliki
              oleh  para  guru  kita.  Mereka  umumnya  tidak  pinter,  loyo,  malas
              membaca    dan  bergaul,  pengecut,  tidak  memiliki  keinginan  tahu
              terhadap   ilmu,  tidak  ada  hasrat  untuk  mengembangkan      diri,
              tidak  memiliki  keberanian  dan sikap  yang jelas,  tidak kritis,  tidak
              kreatif, uga   tidak  memiliki  cakrawala    dan  relasi  yang  luas,
                       j
              sehingga  dengan   sendirinya   sulit  memperoleh   peluang   untuk
              berkembang,   kecuali  dengan  mengeksploitasi   para  murid.  Inilah
              persoalan  guru  yang  menurut    hemat  penulis  paling  mendesak
              untuk  ditangani,  tapi justru  selalu  terlewatkan,  karena  mayoritas
              masyarakat   selalu  melihat  bahwa   akar  masalahnya    pada   gaji
              yang  rendah.  Pandangan    masyarakat   itu  dipertegas  oleh  PGRI,
              yang  menyederhanakan      persoalan  guru  pada  masalah   gaji  saja
              sehingga  perjuangan  PGRI  selama  masa  reformasi  hanya  terfokus
              pada  kenaikan  gaji  saja.  Perjuangan  mereka  pun sebetulnya  lebih
              dimaksudkan    untuk   "menebus    dosa",  karena  selama  32  tahun
              telah  menjadikan  guru  sebagai  alat  legitimasi  kekuasaan,  sehing-
              ga  keberadaan  PGRI   tidak  membuat   guru  sejahtera,  tapi  malah
              tambah   menderita,  baik  secara  ekonomis  maupun    politis.

                   Selain  untuk  "menebus   dosa",  agresifnya  PGRI  memperju-
              angkan  kenaikan   gaji  guru  hingga  200%  dengan  menggerakkan
                                                   j
              aksi  demo  ke  Senayan  dan  Istana, uga  secara  transparan  dibaca
              oleh  banyak  pihak  sebagai  bagian  dari  konspirasi  elite  politik
              untuk  menjatuhkan   Pemerintahan   Presiden  Abdurrahman    Wahid.
              Terbukti  gerakan  itu  hanya  mampu    memobilisasi   para  guru  di
              Jawa  Barat  yang  secara  kultural  tidak  memiliki  ikatan  emosional
              dengan   Presiden  Abdurrahman      Wahid.   Belakangan,   Presiden
              Abdurrahman     Wahid   sendiri  menuding   gerakan  itu  disponsori
              oleh  dua  bekas  pejabat  Orde   Baru.  Gus  Dur  pada   waktu   itu
              menunjuk   dua  nama,  yang  disebut ada  dibalik  demo  guru  besar-
              besaran  itu.  Meskipun  tudingan  itu  tidak  pernah  dibuktikan  di
              pengadilan,  para  guru  di daerah  lain  pun  percaya  pada  tudingan
              itu.  Mereka  membaca   aroma   politik  demo  guru  itu  lebih  kental
   143   144   145   146   147   148   149   150   151   152   153