Page 17 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 17

1999  sempat  mengembalikan   sisa  anggaran  tahun  1998/1999  ke
             kas  negara  hingga  Rp  500  milyar  lebih.  Sisa  anggaran  sebesar
             itu jelas  mencengangkan,  mengingat banyak sekolah swasta  kecil
             bangkrut  karena  tidak  memiliki  biaya,  juga  sekolah-sekolah  ne-
             geri  di  pinggiran  berjalan  asal-asalan  saja  karena  keterbatasan
             dana. Juga, banyak guru  honorer berhenti  karena  gaji  tidak  men-
             cukupi,  dan  program  penyetaraan  guru-guru  SD-SLTP   pun  ter-
             henti  karena  tidak  ada  biaya.  Tapi  institusi  yang  berwenang
             mengelola  anggaran  pendidikan  justru  tidak  mampu  menyerap
             seluruh  dana  yang  telah  dialokasikan,  yang  jumlahnya  pada
             waktu  itu  tidak  sampai  RplO  triliun.

                  Berdasarkan  kasus-kasus  yang  ada  selama  ini,  tampaknya
             langkah  awal  yang  perlu  dilakukan  oleh  DPN  adalah  membuat
             perencanaan secara  matang, agar  tidak hanya asal bisa  menyerap
             anggaran saja, serta  meningkatkan kemampuan    pengelolaan  ang-
             garan.  Jangan  sampai  terjadi  seperti  di  institusi  lain;  dana  pene-
             litian  sebesar  Rp  600  juta  lebih,  karena  tidak  terserap,  akhirnya
             hanya  dibagi-bagi  dengan  berseminar  seadanya.
                  Agar  pengalokasian   anggaran  itu  bisa  tepat  sasaran  dan
             tidak  mengulangi  kesalahan  masa  silam,  yang  akhirnya  hanya
             memboros-boroskan     anggaran,  maka  dalam   membuat   rencana
             kerja,  DPN  perlu  mengembangkan     suatu  model  perencanaan
             yang  lebih  partisipatif,  melibatkan  berbagai  pihak  (multistake
             holder).  Kekeliruan  terbesar  masa  silam  adalah  seluruh  perenca-
             naan dilakukan secara sentralistik,  dari  balik meja  oleh  para  peja-
             bat  di  Jakarta,  sehingga  ketika  diimplementasikan  di  lapangan
             banyak  yang  tidak  cocok.  Sebagai  contoh,  dua  SLTPN  di  kam-
             pung  saya  tahun  1988 di-drop  alat  musik organ,  padahal  sekolah
             itu  belum  dialiri  listrik. Sekolah  yang  lain  di -drop media mengajar
             proyektor,  padahal juga  tidak ada  aliran  listriknya.  Setelah  dise-
             lidik, ternyata  itu bukan kasusistik,  tapi  terjadi di banyak tempat.
             Akibatnya,  kedua  jenis  peralatan  yang  dibeli  dengan  harga  ma-
             hal  itu  selama  bertahun-tahun  nganggur tidak  terpakai.  Kesalahan
             yang  sama  terulang  kembali  dengan  mengc-drop   komputer   di
             banyak  sekolah  yang  belum  ada  aliran  listriknya.
   12   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22