Page 18 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 18

Mengingat   keledai  saja  tidak  mau  tertumbuk  pada  batu
              yang  sama,  maka  selayaknya   DPN  pun  belajar  dari  kesalahan
              masa  lalu  agar  tidak  mengulangi  kesalahan  yang  sama  berkali-
              kali.  Model  perencanaan  yang  partisipatif itu  berarti  melibatkan
              sekolah-sekolah.  Perencanaan  perlu  dimulai  dari sekolah-sekolah
              yang  akan  menjadi  pelaksananya,  baru  kemudian  ditarik  pada
              tingkat  yang  lebih  tinggi.  Bukan  sebaliknya,  perencanaan  dari
              pusat  kemudian    dijabarkan  ke  daerah-daerah,  kemudian    ke
              sekolah-sekolah.  Model   perencanaan   yang  top  down  itu  sudah
              terbukti  tidak  efisien  dan  tidak  efektif,  sehingga  selayaknya  se-
              gera  ditinggalkan.

                   Tentu  saja,  tidak mungkin  bila  DPN  melakukan  identifikasi
              masalah secara  detil  kepada  setiap  sekolah  di  seluruh  Indonesia,
              sebab  kalau  demikian,  perencanaan  itu  pasti  tidak  akan  pernah
              selesai.  Tapi  perencanaan  yang  didasarkan  pada  kondisi  geog-
              rafis, ekonomi, sosial, dan  budaya setiap sekolah sangat  mungkin
              dilakukan.   Masing-masing    Pemerintah   Daerah   dapat  mem-
              fasilitasi  proses  need  assessment,  sekaligus  perencanaan  kepada
              sekolah-sekolah di wilayahnya, yang pelaksanaannya    dibagi  ber-
              dasarkan kondisi geografis, ekonomi, sosial, dan budaya  masing-
              masing.  Sebagai  contoh,  sekolahnya  sama-sama  berada  di  wila-
              yah  Kalimantan Timur,   tapi  ketika  dilakukan  need  assessment  dan
              perencanaan   itu,  digabung  dengan  sekolah-sekolah  yang  ada  di
              Balikpapan,   Samarinda,  Tenggarong,    dan  Tarakan  misalnya.
              Jelas,  hasilnya  kurang  valid  karena  kondisi  sosial  dan  ekonomi-
              nya  berbeda; tingkat kebutuhannya  pun  tentu  berbeda.  Mungkin
              sekolah-sekolah  yang  di  Tenggarong  memerlukan   bantuan  bea-
              siswa,  tapi  sekolah-sekolah  yang  di  Balikpapan  tidak  memerlu-
              kannya  karena  ekonomi  masyarakatnya    kecukupan.  Bila  peren-
              canaannya tunggal atas nama   Kalimantan Timur saja,  pasti  imple-
              mentasinya juga tidak tepat sasaran. Jadi, sentralisasi jangan sam-
              pai  terjadi bukan hanya pada  tingkat pusat saja,  tapi  pada  tingkat
              provinsi  pun  tidak  boleh ada sentralisasi  perencanaan, mengingat
              wilayah  suatu  provinsi  sangat  luas.  Bahkan  di  provinsi  yang
              wilayahnya   sempit seperti  DIY  saja,  ada  perbedaan  karakter  an-
   13   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23