Page 181 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 181
tuhan, dan sekolah lain amat kekurangan. Ironisnya, saat ada
pengangkatan guru baru di sekolah yang kekurangan guru Mate-
matika itu, ternyata yang diangkat justru guru Bahasa Indonesia
s
yang sudah kelebihan. Kecenderungan emacam itu sering terjadi
di masyarakat. Sumber permasalahannya terletak pada ketidak-
telitian pihak penentu kebijakan (dulu Kanwil, sekarang Dinas
Pendidikan) dalam membaca usulan formasi dari masing-masing
sekolah. Sekolah sebetulnya mengusulkan formasi untuk guru Mate-
matika atau IPA, tapi yang di-drop adalah guru Bahasa Indonesia
atau lainnya. Ini kemudian menyebabkan guru mengajar tidak
sesuai dengan latar belakang yang dimilikinya (mismatch). Jadi,
mismatch bukan disebabkan oleh kekurangan guru saja, tapi bisa
juga karena kelebihan guru.
Menurut hemat penulis, persoalan mendasar pada guru
mungkin bukan pada segi kuantitas, tapi pada kualitas. Seperti
yang dicatat oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Badan
Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional
2002, persentase guru yang layak mengajar di SLTP sesuai mata
pelajaran tahun 2000/2001 adalah rendah. Bila dilihat dari rata-
rata terbaik dan terjelek, maka datanya seperti terlihat di bawah
ini:
Daerah B.Indonesia B.lnggris Matematika IPA IPS
Rata-rata 47,0 45,5 50,9 54,6 48,3
Jawa Timur 60.2 62.9 64.5 66.6 61.9
Maluku 7.6 16.7 12.5 14.3 7.9
Dikutip dari makalah Drs. Achmad Dasuki, MM, "Implementasi Kebijakan
Depdiknas terhadap Pemberdayaan Guru", 2002: 3.
Selain problem ketidakmerataan distribusi dan rendahnya
kualifikasi pendidikan guru, problem lain yang dihadapi dalam
masalah guru adalah banyak guru yang berprofesi ganda sebagai
pejabat pemerintahan desa dan sebagai istri pejabat pemerin-
tahan, yang masih tercatat sebagai guru namun tidak menja-
lankan fungsi sebagai pengajar. Juga, masalah mismatch seperti
yang disebutkan di atas. Masalah mismatch ini terutama banyak