Page 202 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 202

Ketatnya  birokrasi  pendidikan  itu  merupakan  warisan  Orde
              Baru,  yang  selama  tiga  dasawarsa   menghilangkan    peran  guru
              dan  menggantikannya    sebagai  peran  tutor,  komando,  atau  pena-
              tar.  Profesi  guru  selama  Orde  Baru  mengalami    distorsi  yang
              begitu  hebatnya,  sehingga  dampaknya   pameo lama    yang  menya-
              takan  "guru  umjibe  digugu  lan  ditiru"  (Guru  wajib  dipercaya  dan
              dicontoh)   berubah   menjadi   sinisme   "Guru  iso  digugu,  ning  ora
              perlu  ditiru"  (Guru  bisa  dipercaya,  tapi  tidak  perlu  dicontoh).  Di
              sini, distorsi  itu  sangat jelas.  Pameo  pertama  mengandaikan  guru
              sebagai  personifikasi  makhluk  yang  ideal, sehingga  ucapan  mau-
              pun  tindakannya  wajib dipercaya   dan  dicontoh.  Sedangkan yang
              kedua,  guru  merupakan    personifikasi  aktor/aktris  yang  pandai
              bersandiwara,    sehingga   ucapan   maupun     tindakannya    patut
                                                                             "
              diperhatikan  tapi  tidak harus dipercaya  dan  dicontoh.  Kata bisa
              dipercaya"  mencerminkan skeptisisme tertentu,     bahwa apa   yang
              dikatakan  guru  belum   tentu  mengandung    kebenaran    (baik  for-
              mal  maupun    empiris),  oleh  sebab  itu,  apa  yang  dikatakannya
              mengandung     ambiguitas:  bisa  dipercaya,  tapi  juga  bisa  tidak.


                   Sinisme  sosok  guru  itu  makin  dipertajam  dengan  penyem-
              pitan  ruang  dan  waktu,  misalnya,  bisa  dipercaya  di  depan  kelas
              saat  mengajar,  tapi  tidak  otomatis  dapat  dipercaya  di  luar  kelas.
              Bahkan  dengan   datangnya   gerak  reformasi  yang  menggugat  ber-
              bagai  kemapanan     termasuk   kebenaran   pelajaran   sejarah  dan
              PPKN   (dulu  PMP),  muncul   skeptisisme  yang  tinggi  di  kalangan
              murid:  "Betul  nggak  yang  disampaikan   guru   itu?"  Skeptisisme
              yang  menumpuk     dan  terstruktur  itu  berdampak   pada  membu-
              ruknya  citra  guru  secara  keseluruhan,  baik  di  luar  maupun  di
              dalam  kelas.  Terlebih  bila  guru  kenyataannya  tidak  menjalankan
              peran sebagai  guru  (mencerdaskan murid),    tapi  lebih  merupakan
              bagian  dari  aparatus  negara  yang   bertugas  mengontrol    gerak
              gerik  murid.  Akibatnya,  guru  tidak  sibuk  dengan  belajar  untuk
              menambah    wawasan    baru,  mengembangkan     teknik-teknik  pem-
              belajaran  yang  baru,  atau  kreativitas  murid,  tapi  sibuk  melayani
              tuntutan  birokrasi.
   197   198   199   200   201   202   203   204   205   206   207