Page 224 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 224

Kalimantan,Sulawesi,    Maluku,  atau  bahkan  Papua,  untuk  meng-
              ajar  di  sana,  tidak  otomatis  hasilnya  sama  baiknya  dengan  pro-
              duk  di  pusat,  bila  tidak  didukung  oleh  fasilitas  yang  memadai.
              Dosen  hanya   merupakan   salah  satu  kompenen   saja  untuk  kuat-
              nya  sebuah  PT.  Salah-salah,  hasilnya  bisa  lebih  buruk,  karena
                                                   s
              identifikasi  diri  mahasiswa  di  sana udah  terlalu  tinggi —sebagai
              bagian  dari  PT  terkemuka  —sementara     prosesnya   masih  tetap
              seperti  aslinya.

                   Jadi,  jelas  sekali  bahwa  ideologi  dan  cara  kerja  sekolah/PT
              berbeda  sekali  dengan   ideologi  maupun    cara  kerja  pedagang
              yang hanya  mencari   keuntungan saja.  Model  berpikir dan bekerja
              para  pengelola  institusi  pendidikan  yang   meniru   model  kerja
              para  pengusaha    itulah  yang   membuat    pendidikan    nasional
              menjadi  rusak-rusakan,   karena  tujuan  akhir  dari  seluruh  proses
              tersebut menjadi  tidak jelas.  Apakah  tujuan  dari  mendirikan  kelas
              jauh  itu  sekadar  memberikan   gelar  melalui  pendidikan  formal,
              meningkatan   kualitas  sumber  daya  manusia,  atau  usaha  menge-
              ruk  keuntungan   material  dari  para  pengelolanya  saja?

                   Hal  yang ama    terjadi  pada  pembukaan   Program   Pascasar-
                             s
              jana.  Begitu  banyak  r T S  di  Indonesia  yang  statusnya  "terlihat"
                                    "
              (tahu  kalau  ada  PTS X "  setelah  melihat  kampusnya  secara  lang-
              sung),  tapi  sudah  membuka     Program   Pascasarjana.   Padahal,
              kualitas  programSl-nya saja  masih  dipertanyakan,  karena  masya-
              rakat  tidak  pernah  mengetahui   hasil  pikiran  dari  PTS  tersebut.
              Bahkan,  mendengar    namanya   pun  tidak  pernah.  Saya juga  terke-
              sima  ketika  sebuah  PTS  di  Surabaya  yang  kualitas  Sl-nya  juga
              masih  dipertanyakan,   sudah   meluluskan    doktor  dari  program
              S3.  Bagi  saya, sulit sekali  memahami  kriteria  pemberian  izin  Prog-
                                        s
              ram  Pascasarjana  di  PTS emacam    itu,  baik  untuk S2  maupun S3.
              Bagaimana    mungkin   kinerja  Badan   Akreditasi  Nasional   dapat
              dipercaya  bila  yang  terjadi  di  lapangan  cukup  memprihatinkan
              semacam   itu?  Inilah  cermin  dari  model  pendidikan  yang  rusak-
              rusakan  di  negeri  ini.  Kualitas  program  Sl-nya  saja  masih  diper-
              tanyakan,  tapi  sudah  berani  membuka     Program   Pascasarjana.






              224
   219   220   221   222   223   224   225   226   227   228   229