Page 230 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 230
publik, tetapi tiba-tiba menyandang gelar Doktor Honoris Causa
dari "Belgedes University" atau "Rakaruan University", misal-
nya. Kita terkesima ketika tiba-tiba Hamzah Haz (Wakil Presiden
Juli 2001-2004) menyandang gelar Doktor Honoris Causa dari The
American World University (1998) atau Sutiyoso yang menda-
pat gelar doktor honoris causa dari Jepang.
Yanng menyedihkan, gila gelar doktor HC yang dapat dibeli
secara instan itu telah mewabah ke berbagai kalangan, baik peja-
bat, pengusaha maupun pengurus partai. Ada seorang mantan
Pemred sebuah tabloid yang uga pernah jadi salah seorang ketua
j
DPP PDI Soerjadi, tahu-tahu dengan gagah berani memajang
gelar doktor dan MBA di kartu namanya. Padahal tidak jelas di
mana dia kuliah sehingga berhasil meraih kedua gelar tersebut.
Sebaliknya, orang tidak terkesima ketika Abdurrahman
Wahid alias Gus Dur —saat menjadi presiden —mendapatkan
gelar doktor honoris causa dari beberapa universitas di luar negeri,
karena Gus Dur dinilai pantas mendapatkan gelar tersebut. Sama
halnya ketika Siswono Yudhohusodo—mantan Menteri Trans-
migrasi dan Perambah Hutan, serta Menteri Perumahan Rakyat
zaman Orde Baru —diberi gelar Doktor HC dari UNJ (Univer-
sitas Negeri Jakarta) medio Juni 2003, orang tidak meributkan-
nya. Barangkali karena Siswono dinilai memiliki kapabilitas dan
kredibilitas untuk menyandang gelar Doktor HC dari sebuah
perguruan tinggi negeri di Indonesia yang jelas statusnya.
Tanggapan yang berbeda diberikan ketika Presiden Megawati
mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Institut Hubungan
Internasional, Moskow. Isu yang mencuat pada saat itu adalah
terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang RUU)
(
Pemilihan Presiden. Persyaratan pendidikan terakhir yang
diusulkan oleh presiden adalah S M A atau sederajat. Sedangkan
beberapa fraksi, salah satunya Fraksi Golkar, mengusulkan se-
tingkat SI. Karena Megawati bukan SI, maka usulan itu ditaf-
sirkan sebagai upaya menjegal pencalonan Megawati.
230