Page 96 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 96
Hal itu penting demi kelancaran nasib guru itu sendiri, serta
untuk menghindarkan para guru bersikap kedaerah-daerahan.
Berdasarkan pengalaman masa lalu hingga kini, Pemda be-
lum memilki traek record yang baik dalam mengelola pendidik-
an, termasuk penanganan guru. Yang ada justru tindakan represif
terhadap para guru SD. Selama bertahun-tahun, guru SD di ba-
wah wewenang Pemda; mereka selalu menjadi sapi perahan
orang-orang Pemda. Juga menjadi garda depan untuk pemena-
ngan Golkar selama masa Orde Baru. Kecuali itu, Pemda juga
tidak memilki uang, sumber daya manusia, dan manajemen,
sehingga meski kewenangan dalam banyak hal ada pada mereka,
tapi sumber gaji guru tetap dari Pusat. Yang dimiliki oleh Pemda
hanya satu, yaitu ingin uangnya saja mereka keep. Sulit mem-
percayai Pemda mampu mengembangkan pendidikan yang lebih
baik dan demokratis, karena mereka sudah terbiasa menjadi
raja-raja kecil yang menuntut penghormatan tinggi, tapi sekaligus
bermental jongos terhadap atasan. Bagaimana mungkin orang
yang tidak hidup merdeka akan memerdekakan sesamanya? Itu
hanyalah ilusi belaka.
Kedua, resentralisasi pembangunan gedung-gedung sekolah
SD. Fakta menunjukkan, pembangunan gedung-gedung SLTP/
SMTA yang langsung ditangani Pusat ternyata jauh lebih awet
dibanding gedung-gedung SD yang ditangani Pemda. Mengapa?
Karena birokrasi Pemda lebih panjang, sehingga lebih banyak
dana dipotong dan hanya sedikit yang jatuh untuk pembangun-
an. Di wilayah Jawa Timur, misalnya, ada satu kabupaten yang
memiliki lebih dari 100 pengusaha pemborong resmi. Kepemilikan
perusahaan tersebut umumnya ada keterkaitan dengan pejabat
di kabupaten. Para pemborong itu selalu memperebutkan pem-
bangunan unit gedung baru atau rehabilitasi gedung SD untuk
bisa bertahan, karena satu-satunya bangunan konstruksi yang
terus berjalan dan memiliki nilai cukup besar adalah pemba-
ngunan gedung SD, baik membangun unit gedung baru maupun
rehabilitasi. Karena perusahaan itu harus hidup terus dan dimiliki