Page 97 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 97

Pendidikan Rusak-Rusakan


             oleh  para  kerabat  pejabat  kabupaten,  maka  dengan  sendirinya
             diusahakan  selalu  ada  proyek  yang  dikerjakan.  Tidak  menghe-
             rankan  bila  kemudian  75%  dana  pendidikan   di  daerah  selalu
             dialokasikan  untuk  pembangunan     gedung   setiap  tahun  guna
             menghidupi    rekanan  (pemborong)   yang  notabene  milik  orang-
             orang  di  sekitar  eksekutif  maupun  legislatif  tersebut.  Dengan
             kata  lain,  anggaran  pendidikan  di  daerah  itu  bukan  untuk  per-
             baikan  dan  pengembangan   pendidikan,  tapi  untuk  rayahan  para
             konco-konco  pejabat  kabupaten  atau  DPRD.

                  Betul,  ada  Dewan  Pendidikan  Kabupaten/Kota   yang  dapat
             menjadi  pengontrol  jalannya  pendidikan  di  daerah.  Tapi  tetap
             ada  masalah.  Menurut SK  Menteri  Pendidikan  Nasional  No.044/
             U/2002,  pembentukan dan penentuan    itu dilakukan oleh bupati/
             walikota.  Dengan  sendirinya  hanya  orang-orang  yang  menurut
             perasaan  bupati/walikota   dapat  dikendalikanlah  yang  dipilih
             menjadi  anggota  Dewan   Pendidikan.  Mereka   yang  kritis  terha-
             dap bupati/ walikota tidak bakal menjadi anggota Dewan Pendidik-
             an,  apalagi  menjadi  pengurusnya.  Dengan  kata  lain,  keberada-
             an  Dewan  Pendidikan  dan  turunannya   Komite  Sekolah  sebagai
             kontrol  terhadap  jalannya   pendidikan   di  daerah  itu  hanya
             bohong-bohongan belaka.    Realitasnya di  lapangan tidak seindah
             itu.

                  Bila  situasi  dan  kondisi  pendidikan  itu  dibiarkan  terus,
             maka  jangankan   bicara  soal  kualitas,  kuantitas  saja  tidak  akan
             terpenuhi,  karena  guru,  gedung sekolah,  dan  fasilitas  lainya  ku-
             rang.  Sehingga  tidak  berlebihan  bila  disimpulkan,  bahwa  pen-
             didikan di  era  otonomi  rusak,  selama  tidak ada  perubahan  men-
             talitas  birokrat  di  tingkat  Pemda,  baik  di  tingkat  eksekutif  mau-
             pun  legislatif sebagai  pengelola  pendidikan.  Terlebih  tidak  ada-
             nya kesadaran  masyarakat untuk turut  mengontrol jalannya  pen-
             didikan,  dan  semakin  cuek-nya  perhatian  Pemerintah.

                  Kekacauan   itu  sendiri  tak  lepas  dari  pandangan  double  Stan-
             dard  para  pejabat di  daerah.  Di  satu  pihak,  pendidikan dianggap
             cost  center, hanya  menghabiskan  uang sehingga  kurang mendapat
   92   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102