Page 274 - Tan Malaka - MADILOG
P. 274

Pendeknya  tak  ada  yang  tahu,  mata  ditujukan  kepuncak  hidung,  badan
               Cuma tinggal kulit pemalut tulang, cinta kasih sayang pada anak istri dan
               makan  meti  dilupakan  sama  sekali,  telinga  seolah-olah  mati  sehingga
               keroncongan pertu sendiripun tak terdengar lagi. Kalau dalam keadan tak
               mati, tak hidup ini, seseorang pertapa, seorang bersamadhi, sangka atau
               rasa  dai  lebur  dengan  Ataman,  tak  mengherankan  kita  kalau  kelak  dia
               kembali  kedunia  ini  dengan  tak  bisa  melukiskan  bentuk  atau
               mendefinisikan Atman itu.

               Disini  kita  sampai  ketingkat  sejarah  Zaman  Veda  dimana  Alam  itu
               disarikan pada dan disamakan dengan Atman kepercayaan semacam ini
               dinamai juga Pantheisme, Tuhan itu ialah Alam. Tetapi ahli filsafat Veda
               pun  tak  senang  dengan  kepercyan  ini.  timbullh  terus  pertanyaan  siapa,
               bila  dan  apa  sebab  dibikin  Alam  ini.  Satu  teori  yang  terkemuka  sekali
               mencoba jawab pertanyaan ini.

               Menurut teori itu maka pada permulaan tiadalah benda dan yang bukan
               benda; tak ada udara ataupun langit, tak ada yang mati atau yang tak mati.
               Semuanya  k  o  s  o  n  g  kecuali  ADA  SATU  yang  bernafas  dengan  tak
               mengeluarkan  nafas  atas  kodratnya  sendiri.  oleh  kodratnya  pertapaan,
               samadhi maka pertentangan yang pertama, yakni antara benda dan bukan
               benda  bertukar  menjadi  kodrat  dan  benda  oleh  kodratnya  kemauan
               (Kama) ia ini bijinya akal, yang menimbulkan seua kemajuan.

               Kemauan itu, ialah tanda keinsyafan ialah tali pengikat “Yang ada dan
               yang  Tak  ada”  (Benda  dan  Bukan  Benda).  Tetapi  teori  itu  akhirnya
               sendiri mengaku tak tahu apa sebab Yang Mahakuasa yang pertama tadi
               bertukar  menjadi  “Pembikin  yang  aktif”  dan  “Kekacauan  yang
               passive”. Syair teori ini berakhir dengan kesangsian: “Pembikin Alam ini
               adalah saut kegaiban “Ko Veda?” (Siapa yang tahu?).
               Pemeriksaan  berupa  syair  diatas  ini  berapa  Dialektika  yang  unggul,
               gilang  gemilang!  Tiada  ia  melangkah  dengan  benda,  walaupun  terkecil
               seperti  atom  dan  proton.  Tiba-tiba  pula  kita  berjumpakan  Kemauan
               (Kama)  dalam  pertapaan  yang  bisa  menyiapkan  segala-gala.  Akhirnya
               dialektika  yang tak bertulang dan spekulatif berakhir dengan Ko Veda,
               siapa tahu?
               Tadi  sudah  diperlihatkan  bahwa  Atman  itupun  barang  yang  tidak
               diketahui bentuknya dan tak bisa didefinisikan, melainkan bisa dirasakan
               setelah badan kurus kering, pancaindera berhenti dan pikiran sudah tentu
               hilang  lenyap.  Filsfaat  semacam  ini  pendeknya  tiada  tetap  tinggal
               monopoli  paham  Ahli  Hinudstan.  Menurut  pemeriksaan  borjuis  Barat,



                                                                                         273
   269   270   271   272   273   274   275   276   277   278   279