Page 163 - Pemikiran Agraria Bulaksumur Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo Masri Singaarimbun dan Mubyarto
P. 163
Pemikiran Agraria Bulaksumur
nya segala sesuatu yang terkait dengan hidup dan kehidupan,
serta masalah kemakmuran dan kesejahteraan manusia.
Di tahun 1815 sensus Rafles menyebutkan penduduk Jawa
sekitar 4,5 juta. Di tahun 1900 jumlah itu mencapai 28,5 juta dengan
pertumbuhan luar biasa rata-rata 2,2 % per tahun. Tahun 1961
jumlahnya mencapai 63,1 juta di Jawa dan Madura, peningkatan-
nya 22,2 juta dari sensus tahun 1930. Tahun 1970 total populasinya
sudah mencapai 73,8 juta. Persoalan pangan dan kemiskinan
segera saja muncul sebagai akibatnya. Karena itu, politik etis dite-
rapkan untuk mengatasi persoalan ini meliputi pendidikan,
irigasi, dan kolonisasi (transmigrasi). Berbeda dengan perspektif
lain yang melihat perbaikan pendidikan, irigasi, dan kolonisasi
(transmigrasi) yang dilakukan pemerintah kolonial sebagai bagian
dari politik penguasaan dan pelanggengan kekuasaan terhadap
bangsa Indonesia, dan bagian dari melindungi kepentingan
ekonomi kolonial atas pengerukan sumber daya alam Indonesia,
Masri justru melihatnya sebagai solusi yang ditempuh pemerintah
kolonial untuk mengatasi masalah kependudukan di Indonesia
80
pada saat itu. Kepadatan jumlah penduduk yang demikian
besar—di daerah pedesaan tingkat kepadatannya mencapai 4000
jiwa/km persegi—menurut Masri memunculkan akibat pada
persoalan tanah dan pangan, dan selanjutnya memunculkan
deforestasi, banjir, erosi, dan kekurangan air untuk irigasi. 81
80 Masri Singarimbun, “Some Concequnces of Population Growth in Java,”
This paper is presented at SEADANG Population Seminar on April 6-8 1979 in
th
Elkridge, Maryland, USA, p.1-2. Lihat juga Masri Singarimbun, “Masalah Kepen-
dudukan,” Makalah disiapkan untuk Panel Diskusi Konsultasi Kependudukan
Dewan Gereja-gereja Indonesia di Jakarta, 7 November 1981, hlm.1-2.
81 Masri Singarimbun, “Some Concequnces of Population Growth in
Java,” Ibid., p.5. Lihat juga Masri Singarimbun, “Masalah Kependudukan,” Ibid.
144