Page 164 - Pemikiran Agraria Bulaksumur Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo Masri Singaarimbun dan Mubyarto
P. 164
Pemikiran Masri Singarimbun
Fragmentasi tanah mulai terjadi di Indonesia sejak abad 19,
pada saat di mana populasi penduduk di pedesaan meningkat
sangat cepat dari pada ketersediaan tanah yang dapat dibuka untuk
pertanian. Semua tanah subur pada 1900 sudah dijadikan lahan
pertanian, di samping itu kesulitan ekonomi mendorong penduduk
tak bertanah menjadikan bukit curam dan wilayah-wilayah yang
tidak subur sebagai lahan pertanian. Hal ini pada tahap selanjutnya
mengakibatkan penggundulan hutan, erosi, dan banjir.
Pertambahan penduduk mengakibatkan petani semakin tidak
memiliki cukup luasan tanah yang bisa menghidupi mereka, untuk
dapat hidup setidaknya seorang petani harus memiliki sekurang-
kurangnya 1 bau (0,709 ha) sawah, dan 2 bau lahan kering.
Kenyataannya di awal abad ini mayoritas petani justru memiliki
kurang dari jumlah itu. Pembagian warisan tanah di tengah
kepadatan jumlah penduduk karena semakin bertambahnya
anggota keluarga juga faktor yang semakin mempersempit luasan
tanah pertanian. Pertambahan jumlah penduduk dan lahan yang
semakin sempit memunculkan banyak orang yang tak bertanah
beralih menjadi buruh tani. Banyaknya jumlah buruh tani semakin
memperkecil pendapatan mereka untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Jika kondisi ini terus berlanjut maka membengkaknya
jumlah pengangguran tidak dapat dihindari, dan dapat melahirkan
tindakan-tindakan destruktif lainnya. Urbanisasi adalah akibat tak
terelakkan dari padatnya penduduk di pedesaan dan desa mereka
tidak lagi mampu menampung hidup mereka. Semua itu, menurut
Masri, disebabkan oleh fertilitas yang tidak dikendalikan. 82
82 Lihat “Kurangnya Kesempatan Kerja Menarik Orang Bekerja Sebagai
Buruh Tani”, Sinar Harapan, Selasa, 7 Juli 1981., Masri Singarimbun, “Beberapa
Aspek Kependudukan dan Land Reform,” hlm. 3.
145